Shalat Berjamaah dan Pembentukan Kepribadian
Shalat berjamaah pada
dasarnya merupakan syiar kebesaran Islam dan sarana untuk menunjukkan kepada
orang-orang non muslim bahwa Islam itu besar dan agung. Seseorang yang telah
memiliki akidah yang kuat tentu akan terbina karakter pribadinya yakni dengan
mengerjakan shalat berjamaah sebagai bagian dari syiar Islam. Dengan rutin dan
mengerjakan shalat berjamaah diharapkan akan tumbuh suatu sikap keteguhan dalam
berusaha, disiplin dalam bekerja dan sebagainya.
Adapun kepribadian yang akan tumbuh
dalam pribadi umat Islam dengan mengerjakan shalat berjamaah adalah:
1. Tertanamnya Kesadaran
Bekerja dan Berusaha
Kesadaran bekerja dan berusaha dalam diri manusia memang sudah menjadi
fitrahnya untuk memenuhi dan menjamin kehidupannya di dunia maupun meningkatkan
amal shaleh untuk berbakti kepada Allah SWT. Karena kesadaran yang demikian
akan memperoleh ganjaran pahala di akhirat nanti. Oleh karena itu kaitan
kedisiplinan anak dalam kesadaran bekerja dan berusaha semakin tumbuh dikarenakan
pengaruh dari seringnya kedua orang tua si anak tersebut mendirikan shalat
berjamaah di dalam rumah tangga.
Dalam
kesempatan yang demikian, biasanya orang tua si anak selesai mendirikan shalat
berjamaah menyampaikan berupa nasehat-nasehat khusus mengenai kehidupan di
dunia ini dan bagaimana memperolah kehidupan yang hakiki di akhirat nanti.
Dalam upaya mencari kehidupan yang layak di dunia ini manusia wajib bekerja dan
berusaha keras dengan berbagai pekerjaan yang halal untuk memperoleh rezeki, sehingga
memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, Allah tidak akan merubah nasib sesuatu
kaum apabila mereka tidak merubahnya, menyangkut dengan ini Allah SWT berfirman
dalam Al-Qur’an sebagai berikut
ان الله لايغير ما بقوم حيى يغير ما بانفسهم ... (الرعد: ۱۱)
Artinya : ...Sesungguhnya
Allah tidak akan merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka (sendiri) akan
merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.(QS. Ar-Ra’du: 11)[1]
Ayat di
atas jelas menegaskan bahwa keadaan perkembangan hidup sesuatu kaum/bangsa
maupun individu (pribadi) sangatlah bergantung pada usaha mereka sendiri,
artinya mau berbuat, bekerja, berusaha dengan segala daya upaya agar selalu
menyerahkan diri kepada Allah.
Sebenarnya
sikap kemalasan adalah suatu sifat sangat tidak disenangi Allah. Rasulullah SAW
dan masyarakat sekalipun, sehingga dalam Islam selalu diperingatkan kepada
umatnya agar berusaha dan bekerja keras untuk mendapatkam rezeki, menganggur
atau lalai dalam melaksanakan tugas, terutama tugas ibadah berbakti kepada Yang
Maha Kuasa, maksudnya manusia berbakti untuk mencari rezeki, sebagaimana firman
Allah yang berbunyi, yaitu sebagai berikut :
فاذا قضيت الصلوة فانتشروا فى الارض
وبتغوا من فضل الله واذكروا الله كثيرا لعلكم تفلحون. (الجمعة: ۱۰)
Artinya : Apabila
telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, carilah
karunia Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung. (QS. Jumu’ah: 10)[2]
Dengan
demikian manusia haruslah giat berusaha (tidak boleh malas) untuk memperoleh
berbagai kebutuhan hidup (harta). Karena dengan adanya harta benda atau
kekayaan manusia dapat menuju kepada kebaikan, ketentraman hidup dan
kesanggupan untuk mempunyai rumah tangga. Mustafa As-Siba’i menyebutkan:
Dan
oleh sebab harta benda itu merupakan alat (perantara) untuk menuju kepada kebaikan
dan guna mempermudah kemanfaatn-kemanfaatan seluruh manusia maka sudah
sewajarnyalah apabila manusia berusaha dengan kuat mencari dan menghasilkannya.
Tidak seorangpun yang boleh mengemukakan alasan untuk tidak bekerja, sekalipun
dengan hujjah bahwa Allah telah menetapkan ia sebagai orang yang kafir dan
miskin, atau bahwa ia memang tidak ada nasib baik dalam hidupnya...[3]
Berdasarkan
kutipan di atas dapatlah dijabarkan, bahwa manusia wajib bekerja dan berusaha
dengan segala kemampuan untuk memperoleh hasil yang maksimal. Karena dengan
berusaha manusia dapat merubah nasib dari sesuatu yang tidak ada menjadi ada
atau berkecukupan dalam hidup.
2. Terwujudnya Sikap Jujur
dan Adil
Islam
adalah agama universal yang dapat mengatur segala aspek hidup dan kehidupan
umat manusia, baik mengatur hubungan dengan Allah SWT, hubungan sesama manusia
dengan alam sekitarnya. Menjaga
hubungan baik antara sesama umat manusia merupakan anjuran yang harus
dilaksanakan oleh setiap pribadi muslim. Terutama sikap jujur dan berlaku adil,
karena kedua sikap ini merupakan sifat yang utama, yang dapat menambah
kebahagiaan bagi masyarakat dari berbagai bentuk yang baik.
Sifat
jujur adalah sifat utama karena menambah kebahagiaan terhadap masyarakat, dan
dengan kejujuran, masyarakat akan meningkat dan tetap jaya. Seorang dokter
dengan kejujurannya memberikan petunjuk kepada kita akan hal-hal yang berguna
bagi kesehatan kita. Seorang guru dengan kejujurannya mendidik dan mengajar
anak-anak kita, dan seorang yang alim dengan kejujurannya mengambangkan
pengetahuan dan pengalaman kita, jika sekiranya mereka tidak mempunyai
kejujuran, demikian pula orang-orang yang semacam mereka itu tentu kita tidak
akan dapat mempercayai berita atau nasehat atau bimbingan mereka. Dengan
demikian jelaslah bahwa kejujuran mereka sangat berguna bagi kita dan dengan
demikian kita menetapkan bahwa kejujuran adalah sifat yang utama dan kita
mengharuskan manusia agar bersifat jujur dalam kata-katanya.[4]
Berdasarkan kutipan di
atas bahwa bersikap jujur merupakan sikap yang utama, serta dituntut untuk
dimiliki oleh setiap pribadi muslim di dalam menjalankan tugas sehari-hari demi
untuk menambah kepada kebahagiaan di dalam hidup masyarakat. Demikian juga bagi
orang tua pribadi muslim agar meningkatkan kualitas kejujurannya di hadapan
anaknya, serta berlaku adil dalam memberikan suatu kepentingan kepada anaknya
dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan bersikap jujur
dan adil kepada anak dalam rumah tangga, maka akan terasa dalam sebuah ikatan
keterbukaan antara anak dengan orang tuanya untuk lebih memahami akan
pentingnya pendidikan keteladanan yang diperlihatkan oleh orang tuanya.
Dari
sini masalah keteladanan menjadi faktor penting dalam hal baik buruknya anak.
Jika pendidik jujur, dapat dipercaya berakahlak mulia, berani dan menjauhkan
diri dari perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan agama, maka sianak akan
tumbuh dalam kejujuran, terbentuk dengan akhlak mulia, keberanian dalam sikap
dan menjauhkan diri dari perbutaan-perbuatan yang bertentangan dengan agama. Da
jika pendidik bohong, khianat, durhaka, kikir, penakut dan hina maka sianak
akan tumbuh dalam kebohongan, khianat, durhaka, kikir, penakut dan hina.[5]
Selanjutnya Rasulullah
SAW bersabda dalam sebuah Hadits yang berbunyi sebagai berikut:
عن أبى هريرة رضي
الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إنما بعثت لأتمم مكارم الاخلاق.
(رواه البيهقى)
Artinya: Dari Abu Hurairah ra berkata ia, bahwa Nabi
SAW bersabda : Sesungguhnya yang diutuskan untuk menyempurnakan Akhlak yang
mulia (HR. Al – Baihaqi )[6]
Berdasarkan
uraian di atas jelaslah bahwa kepribadian Rasulullah SAW mempunyai peranan
penting dalam aktivitas kehidupan umat manusia. Demikian dalam kehidupan umat
manusia sehari-hari, ia memerlukan pembinaan moral agar dapat bersikap dengan
terpuji, baik terhadap pribadinya, anak-anaknya dan masyarakat sekitarnya.
Contoh teladan yang mula-mula diperoleh oleh pribadi seseorang adalah lewat
pendidikan di dalam rumah tangga. Rumah tangga dapat dikatakan sebagai wadah
yang utama dalam melahirkan sikap-sikap yang terpuji bagi seorang anak, itupun
sejauh orang tuanya mampu membina dan dapat menampilkan tinadakan-tindakan yang
terpuji di hadapan anak-anaknya.
[3] Mustafa As-Siba’i, Sosialisme Islam,
terjemahan M. Abdai Rathomy, (Bandung: Diponogoro, 1969), hal. 179.
[4] Ahmad Muhammad Al-Hufy, Akhlak Nabi
Muhammad SAW, alih Bahasa: H. Masdar Helmy, K. Abd. Khalik Anwar, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1978), hal 22-23.
[5] Abdullah Nashih Ulwan, Pedoman
Pendidikan Anak Dalam Islam, Jilid II, Cet. I, (Bandung: Asy-Syifa’, 1988),
hal. 2.
[6] Al-Baihaqi, Al-Sunan Al-Kubra, Juz
X, (Bairut: Al-Maktabah Majelis Ma’arif Al-Usmaniyah Ralaby Dukuma Hindy,
1995), hal. 192.
No comments:
Post a Comment