Faktor-faktor yang Mempengaruhi Disiplin Sekolah
Kedisiplinan
kadang lebih mudah diucapkan dan sangat sukar untuk dijalankan. Semua orang
memiliki keinginan untuk menjalankan kedisiplinan, namun tidak sedikit pula
yang gagal menjalankan kedisiplinan. Banyak orang yang sukses karena berhasil
meningkatkan kedisiplinan dalam hidupnya, namun jarang kita melihat ada orang
yang sukses karena tidak disiplin. Berapa banyak orang yang mendapat kedudukan
tinggi disebabkan kedisiplinannya dalam menuntut ilmu. Hal ini berarti
kesuksesan adalah suatu hal yang mustahil didapat apabial tidak didukung oleh kedisiplinan.
Menurut
Depdikbud menjelaskan bahwa ada dua jenis dorongan yang mempengaruhi disiplin,
yaitu: “Pertama, dorongan yang datangnya dari dalam diri manusia, yaitu
pengetahuan, kesadaran, dan kemauan untuk berbuat disiplin. Kedua, dorongan
yang datangnya dari luar yaitu perintah, larangan, pengawasan, pujian, ancaman,
hukuman, ganjaran dan sebagainya.”[1]
Dalam
kedisiplinan mengandung beberapa faktor yang sangat mempengaruhi:
- Faktor-faktor Internal
Bila kita
melihat dari sisi pendidikan, maka ada enam faktor yang berpengaruh dalam
membina kedisiplinan dalam diri anak didik, yaitu Intelegensi, Bakat,
Perhatian, Motivasi, Minat, Konsentrasi, dan Penghargaan.
a.
Intelegensi
Inteligensi
(kecerdasan) mempunyai peranan penting terhadap tinggi atau rendahnya prestasi
yang dicapai oleh siswa. Kemajuan untuk berhasil dalam studi di jenjang
pendidikan tertentu sangat ditentukan oleh tingkat perkembangan inteligensinya.
Menurut Slameto menjelaskan bahwa: “Inteligensi itu adalah kecakapan yang
terdiri dari tiga jenis yaitu kecakapan untuk menghadapi dan menyesuaikan ke
dalam situasi yang baru dengan cepat dan efektif, mengetahui/menggunakan
konsep-konsep yang abstrak secara efektif, mengetahui relasi dan mempelajarinya
dengan cepat”.[2]
Kecerdasan
seorang anak antara satu dan yang lain berbeda-beda. Dalam kemampuan
inteligensi terdapat taraf-taraf dari inteligensi yang tinggi sampai taraf
inteligensi yang rendah. Dalam situasi yang sama, siswa yang mempunyai
inteligensi yang tinggi akan lebih berhasil dari pada yang mempunyai tingkat
inteligensi yang rendah. Siswa yang mempunyai tingkat inteligensi yang normal
dapat berhasil dengan baik dalam belajar, jika ia belajar dengan baik.
Menurut
Arikunto anak yang inteligen adalah anak yang mempunyai :
1.
Kemampuan
untuk bekerja dengan bilangan.
2.
Kemampuan
untuk menggunakan bahasa dengan baik.
3.
Kemampuan
untuk menangkap sesuatu yang baru.
4.
Kemampuan
untuk mengingat-ingat.
5.
Kemampuan
untuk memahami hubungan (termasuk menangkap kelucuan).
6.
Kemampuan
untuk berfantasi.[3].
Jadi tidak dapat
disangkal bahwa prestasi anak yang ditampilkan disekolah mempunyai kaitan yang
erat dengan tingkat kecerdasan.
b.
Bakat
Setiap anak
mempunyai bakat yang berbeda-beda. Perbedaan ini terletak pada jenis bakat. Ada
yang berbakat musik melukis, ada yang berbakat mengoperasikan angka-angka, ada
juga yang berbakat teknik dan sebagainya. Sebagaimana Crow and Crow dikutip
oleh Nurkancana, mengemukakan bahwa “bakat (aptitude) adalah suatu
kualitas yang nampak pada tingkah laku manusia pada suatu lapangan keahlian
tertentu seperti musik, seni pengarang, kecakapan dalam matematika, keahlian
dalam bidang mesin, atau keahlian-keahlian lain.”[4]
Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa bakat adalah kemampuan khusus yang
ada dalam diri seseorang.
Menurut
S.C. Utami Munandar dikutip oleh Paimin, bahwa
“bakat (aptitude) pada umumnya diartikan sebagai kemampuan
bawaan, sebagai potensi yang masih perlu dikembangkan dan dilatih agar dapat
terwujud. Sedangkan kemampuan merupakan daya upaya untuk melakukan suatu
tindakan sebagai hasil dari pembawaan.”[5]
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bakat dan kemampuan dapat menentukan
prestasi seseorang.
Untuk
mengembangkan bakat yang dimiliki seseorang diperlukan fasilitas yang tepat
sehingga dapat menunjang kreatifitasnya. Hal ini sesuai dengan pendapat
Suryabrata bahwa “Seseorang akan lebih
berhasil kalau dia belajar dalam lapangan yang sesuai dengan bakatnya.”[6]
Demikian halnya dengan siswa yang belajar, apabila pelajaran yang dipelajari
sesuai dengan bakatnya maka hasil belajarnya lebih baik karena ia senang belajar dan akan lebih giat lagi
belajar.
Dari
kutipan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa belajar akan memberikan hasil
yang lebih baik apabila berada dalam bidang yang sesuai dengan bakatnya. Oleh
karena itu factor bakat perlu mendapat perhatian yang serius dalam setiap
kegiatan belajar mengajar.
c.
Perhatian
Perhatian
adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dalam hubungannya dengan
pemilihan rangsangan yang datang dari lingkungannya. Dalam keadaan ini, siswa
yang menaruh perhatian yang besar terhadap segala sesuatu yang disampaikan oleh
gurunya, maka dengan cepat ia dapat memahami dan menggurui apa yang telah
ditemukannya. Menurut Slameto bahwa “Perhatian adalah pengerahan segenap
kemampuan indera atau sistem persepsinya untuk menerima informasi tentang
sesuatu.”[7]
Dari
kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa seorang siswa yang menaruh perhatian
dalam setiap proses belajar mengajar, berarti siswa tersebut berupaya untuk
menetapkan suatu tekad dapat belajar dengan baik. Di samping itu perhatian juga
merupakan pintu awal bagi seseorang untuk menggapai kesuksesan yang lebih
besar. Jadi tanpa adanya perhatian, mustahil bagi seseorang untuk memulai
kedisiplinan dalam dirinya.
d.
Motivasi
Motivasi
adalah “suatu proses yang terjai pada diri seseorang yang menentukan tingkatan
kegiatan yang berkaitan dengan intensitas, konsistensi serta arah umum dari
tingkah laku manusia.[8]
Melalui motivasi peserta didik dapat menjadikan harapan (cita-cita) dan target
belajar sebagai dasar motif yang patut dikembangkan dalam rangka mencapai
tujuan dan harapan.
Semakin
tinggi harapan dan target yang dihendak dicapai oleh siswa maka semakin tinggi
pula tingkat kedisiplinan yang harus dijalankan oleh siswa. Agar target dan
harapannya tidak menjadi sia-sia atau kandas di tengah jalan.
Motivasi
belajar merupakan motor penggerak yang mengaktifkan siswa untuk melibatkan
diri. Salah satu tugas pengajar di sekolah adalah membangkitkan motivasi
belajar itu pada siswa, terutama motivasi untuk menguasai ilmu pengetahuan yang
diberikan. Hasil belajar akan menjadi optimal kalau ada motivasi. Makin tepat
motivasi yang diberikan, akan makin berhasil pula pelajaran itu. Jadi motivasi
akan senantiasa menentukan intensitas usaha belajar bagi para siswa. Motivasi bertalian dengan tujuan, dengan
demikian motivasi itu mempengaruhi adanya kegiatan. Sehubungan dengan itu maka
Sardiman mengemukakan ada tiga fungsi motivasi :
1.
Mendorong
manusia untuk berbuat, jadi sebagai penggerak atau motor yang melepaskan
energi,
2.
Menentukan
arah perbuatan, yakni kearah tujuan yang hendak dicapai,
3.
Menyeleksi
perbuatan, yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus dikerjakan yang
serasi guna mencapai tujuan.[9]
Berdasarkan
kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa seseorang melakukan suatu usaha karena danya
motivasi. Adanya motivasi yang baik dalam belajar akan menunjukkan hasil yang
baik, tanpa adanya motivasi yang kuat maka aktifitas belajar seseorang tidak
akan berfungsi dengan baik. Karena dengan motivasi yang kuat dapat mendorong
seseorang melakukan usaha untuk meningkatkan prestasi.
Lebih
lanjut Thursan Hakim menjelaskan manfaat motivasi, yaitu:
1.
Memberikan
dorongan semangat kepada siswa atau mahasiswa untuk rajin belajar dan mengawasi
kesulitan belajar.
2.
Mengarahkan
kegiatan belajar siswa atau mahasiswa kepada suatu tujuan tertentu yang
berkaitan dengan masa depan dan cita-cita.
3.
Membantu
siswa atau mahasiswa untuk mencari suatu metode belajar yang tepat dalam
mencapai tujuan belajar yang diinginkan.[10]
Motivasi
belajar di sekolah lazim dibedakan atas dua jenis, yaitu motivasi intrinsic dan
Motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah motivasi yang timbul dari dalam
diri manusia tanpa adanya rangsangan atau bantuan dari orang lain. Pada
motivasi intrinsic siswa belajar karena ingin menguasai bahan pelajaran, ingin
menjadi orang yang terdidik atau ingin menjadi ahli di bidang ilmu tertentu.
Keinginannya ini hanya dapat tercapai dengan belajar sehingga ia belajar lebih
giat. Sedangkan motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang berasal dari luar
individu yang bersangkutan.
e.
Minat
Minat
adalah sangat penting dalam pendidikan karena merupakan sumber dari usaha.
Menurut Winkel bahwa “minat diartikan sebagai kecenderungan subjek yang
menetap, untuk merasa tertarik pada bidang studi atau pokok bahasan tertentu dan
merasa senang mempelajari materi itu.”[11]
Jadi seorang siswa yang mempunyai minat terhadap proses belajar yang diikutinya
akan memberikan perhatian secara terus menerus disertai dengan perasaan senang
sehingga diperoleh kepuasan. Belajar dengan penuh minat akan lebih mendorong
untuk belajar lebih baik dan akan meningkatkan hasil belajar.
Slameto
mengemukakan bahwa “minat besar pengaruhnya terhadap belajar, karena bila bahan
pelajaran yang dipelajari tidak sesuai dengan minat siswa, siswa tidak akan
belajar dengan baik karena tidak ada daya tarik baginya.”[12]
Dengan demkian seorang tenaga pengajar haruslah membangkitkan minat siswa untuk
menguasai pengetahuan yang terkandung dalam bidang studinya. Guru sebagai
pengajar jangan hanya memperhatikan bahan pelajaran akan tetapi harus bisa
menarik perhatian anak dan menggunakan metode yang sesuai dengan pelajaran yang
diajarkan sehingga menimbulkan minat anak dalam mengikuti pelajaran.
Jadi dapat
disimpulkan bahwa seorang guru yang dapat menciptakan dan menggairahkan minat
belajar pada diri siswa dapat menjadi proses awal terjadi proses kedisiplinan
pada diri pribadi anak didik. Artinya pada diri siswa akan tumbuh suatu sikap
di mana bila tidak berhasil mengikuti pelajaran yang dimaksud sepertinya tidak
akan menemukan kenikmatan dan kesenangan dalam proses belajarnya.
f.
Konsentrasi
Untuk dapat
menjamin hasil belajar yang baik, siswa harus mempunyai perhatian terhadap
bahan yang dipelajarinya. Menurut Winkel bahwa “konsentrasi adalah pemusatan
tenaga dan energi psikis dalam menghadapi suatu objek, dalam hal ini peristiwa
proses belajar mengajar di kelas dan apa yang berkaitan dengan itu.”[13] Selanjutnya konsentrasi menurut Gie adalah
“Pemusatan pikiran terhadap suatu hal dengan menyampingkan semua hal yang tidak
berhubungan. Dalam belajar maka konsentrasi berarti pemusatan pikiran terhadap
suatu mata pelajaran dengan menyampingkan semua hal lainnya yang tidak
berhubungan dengan pelajaran tersebut.”[14]
Konsentrasi
dalam belajar berkaitan dengan kemauan dan hasrat untuk belajar. Konsentrasi
dalam belajar dipengaruhi pula oleh perasaan siswa dan minatnya dalam belajar.
Jadi siswa yang berperasaan tidak senang dan tidak berminat terhadap materi
pelajaran akan mengalami kesulitan dalam memusatkan tenaga dan pikirannya.
Sebaliknya siswa yang mempunyai perasaan senang dan penuh minat akan mudah
berkonsentrasi dalam belajar.
Seorang
siswa yang mempunyai daya konsentrasi yang tinggi terhadap pelajaran yang
sedang diikutinya akan lebih cepat mengerti dan memahami apa yang
dipelajarinya. Oleh karena itu dalam suatu situasi belajar hendaklah sedapat
mungkin diciptakan suasana yang tidak mengganggu konsentrasi siswa yang
belajar, baik itu gangguan yang berasal dari siswa itu sendiri maupun dari luar
siswa.
g.
Penghargaan
Penghargaan
merupakan suatu bentuk motif yang mempengaruhi seseorang untuk mencapai suatu
tujuan. Seorang guru yang mudah memberikan penghargaan memiliki peluang untuk
meningkatkan taraf kedisiplinan siswa dalam rangka mencapai keberhasilan dalam
belajar. Menurut Slameto, “penghargaan adalah kebutuhan rasa berguna, penting,
dihargai, dikagumi, dihormati oleh orang-orang lain.”[15]
Dari
kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa setiap orang perlu dirasakan
kehadirannya dalam sebuah kelompok belajar, dihargai, dan memiliki makna bagi
yang lain. Faktor ini memiliki pengaruh yang besar dalam meningkatkan
kedisiplinan siswa dalam belajar. Seorang siswa yang merasa dihargai dalam
ruangan kelas, tentu akan berusaha menjawab penghargaaan tersebut dengan
mengikuti setiap aturan dan tata tertib serta mengikuti proses belajar mengajar
dengan penuh semangat.
Jadi dengan
guru memberikan penghargaan yang setimpal terhadap siswa dalam proses belajar
mengajar akan dapat memberikan pengaruh yang positif bagi siswa dalam rangka
menciptakan konsep disiplin diri dalam belajarnya.
2. Faktor-faktor Eksternal
Bila kita
melihat dari sisi pendidikan, maka ada tiga faktor yang berpengaruh dalam
membina kedisiplinan dalam diri anak didik, yaitu orang tua, guru, dan
lingkungan.
a.
Orang tua
Orang tua
adalah komponen pertama yang sangat berpengaruh dalam pembinaan kedisiplinan
terhadap siswa. Karena pada dasarnya siswa yang ada di sekolah adalah kumpulan
anggota keluarga yang berkumpul, sehingga pembinaan kedisiplinan terutama
sekali mesti dimulai dari orang tua. Orang tua memiliki peran yang besar dalam
meletakkan dasar-dasar disiplin diri. Karena apabila disiplin sudah terbentuk
dari rumah tangga, maka untuk selanjutnya kedisiplinan akan terbentuk pada diri
anak didik di mana pun ia berada.
Menurut
Thursan Hakim menjelaskan bahwa: “Keluarga merupakan lingkungan pertama dan
utama dalam menentukan perkembangan pendidikan seseorang, dan faktor pertama
dan utama pula dalam menentukan keberhasilan belajar seseorang.”[16]
Dari
kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa orang tua berperan dasar dalam
mengembangkan berbagai potensi yang dimiliki anak. Peran keluarga yang dominan
dalam menanamkan dasar-dasar disiplin diri bagi anak akan sangat bermanfaat
bagi pengembangan diri anak itu sendiri. Karena disiplin yang dimulai dari
keluarga akan lebih kuat penanaman nilainya dibandingkan dengan penegakan
disiplin dari luar keluarga. Hal ini dapat dilihat anak yang disiplin dalam
keluarga lebih mudah untuk dibina, dilatih dan dididik. Sementara anak yang
tidak disiplin dalam keluarga lebih susah untuk diberikan pembinaan, pelatihan
dan pendidikan.
Menurut
Moh. Shochib ada beberapa upaya orang tua yang mampu membantu anak didik dalam
mengembangkan dasar-dasar disiplin diri, yaitu:
1)
Penataan
Lingkungan Fisik
2)
Penataan
Lingkungan Sosial
3)
Penataan Lingkungan
Pendidikan
4)
Dialog-dialog
Keluarga
5)
Penataan
Suasana Psikologis Keluarga
6)
Penataan
Sosiobudaya Keluarga
7)
Perilaku
Orang Tua Saat Terjadinya Pertemuan dengan Anak
8)
Kontrol orang
tua terhadap Perilaku Anak
9)
Nilai Moral
yang Menjadi Dasar Berperilaku Orang Tua dan yang Diupayakan kepada Anak[17]
Dari
kutipan di atas jelaslah bahwa keluarga memiliki peran yang sangat vital dalam
meletakkan dasar-dasar disiplin bagi anak didik. Dasar-dasar disiplin dalam
keluarga sangat penting, karena dapat menjadi modal dasar bagi anak didik untuk
mengembangkan kedisiplinan selanjutnya. Orang tua yang sukses mengembangkan
dasar-dasar disiplin kepada anak-anaknya, lebih mudah dididik dan diajarkan
dari pada orang tua yang tidak memiliki pola pembinaan dasar-dasar disiplin dalam
keluarga.
Henry N.
Siahaan dalam bukunya Peranan Ibu Bapak Mendidik Anak menjelaskan bahwa
“situasi keluarga sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan kepribadian seorang
anak.”[18]
Kutipan di
atas menjelaskan bahwa untuk dapat menanamkan kedisiplinan pada anak, keluarga
harus dapat berfungsi sebagai pelindung bagi anggota keluarganya. Artinya anak
didik merasa nyaman dan bahagia berada di dalam keluarga. Menurut Yusuf Arifin,
“kedisiplinan bermula jatuh dari dalam keluarga, dalam arti bahwa bagaimana
seseorang membina kedisiplinan kepada anak, sementara anak itu sendiri tidak
pernah menghormati orang tuanya sendiri.”[19]
b.
Guru
(Pengajar)
Pada
dasanya guru adalah orang tua kedua bagi siswa di sekolah. Karena pada dasarnya
pendidikan bagi anak adalah tanggung jawab dari pada orang tuanya sendiri.
Namun adanya keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh setiap orang tua maka
kewajiban tersebut dipindahkan kepada sang guru untuk mengatasi
keterbatasan-keterbatasan orang tua. Oleh karena itu sosok guru harus mampu menjadikan
dirinya sebagai teladan dan patut dicontoh oleh semua anak didik.
Menurut
Syaiful Bahri Djamarah bahwa
Guru
adalah figur yang diteladani oleh semua pihak, terutama oleh anak didiknya di
sekolah. Guru adalah bapak rohani bagi anak didiknya. Kebaikan rohani anak
didik tergantung dari pembinaan dan bimbingan guru. Karena tugas dan tanggung
jawab guru adalah meluruskan tingkah laku dan perbuatan anak didik yang kurang
baik, yang dibawanya dari lingkungan keluarga dan masyarakat. Sehingga guru
adalah mitra anak didik dalam kebaikan.[20]
Dari
kutipan di atas jelaslah bahwa untuk meningkatkan kedisiplinan, guru memiliki
pengaruh yang besar dalam menentukan ke arah mana siswa akan dibina. Artinya
guru yang memiliki tanggung jawab moral yang tinggi dalam pembinaan siswa, ia
akan berupaya memberikan yang terbaik bagi siswa di mana ia menanamkan
dasar-dasar kedisiplinan sebagai bekal anak dalam menuntut ilmu tentunya.
Reisman
dan Payne sebagaimana dikutip oleh E. Mulyasa menjelaskan bahwa ada 9 strategi
untuk mendisiplinkan peserta didik, yaitu:
- Konsep diri (self concept); yaitu konsep-konsep diri masing-masing individu merupakan faktor penting dari setiap perilaku. Untuk menumbuhkan konsep diri, guru disarankan bersikap empatik, menerima, hangat, dan terbuka, sehingga peserta didik dapat mengeksplorasikan pikiran dan perasaannya dalam memecahkan masalah.
- Keterampilan berkomunikasi (communication skills); yaitu guru harus memiliki keterampilan komunikasi yang efektif agar mampu menerima semua perasaan, dan mendorong timbulnya kepatuhan peserta didik.
- Konsekuensi-konsekuensi logis dan alami (natural and logical consequences); yaitu perilaku-perilaku yang salah terjadi karena peserta didik telah mengembangkan kepercayaan yang salah terhadap dirinya. Hal ini mendorong munculnya perilaku-perilaku salah. Untuk itu, guru disarankan: a) menunjukkan secara tepat tujuan perilaku yang salah, sehingga membantu peserta didik dalam mengatasi perilakunya, dan b) memanfaatkan akibat-akibat logis dan alami dari perilaku yang salah.
- Klarifikasi nilai (values clarification); yaitu guru harus membantu peserta didik dalam menjawab pertanyaan sendiri tentang nilai-nilai dan membentuk sistem nilainya sendiri.
- Analisis transaksional (transactional analysis); yaitu guru belajar sebagai seorang dewasa, terutama apabila berhadapan dengan peserta didik yang menghadapi masalah.
- Terapi realitas (reality therapy); yaitu sekolah harus berupaya mengurangi kegagalan dan meningkatkan keterlibatan. Dalam hal ini guru harus bersikap positif dan bertanggung jawab.
- Disiplin yang terintegrasi (assertive discipline); yaitu guru mesti dapat mengembangkan dan mempertahankan peraturan.
- Modifikasi perilaku (behavior modification); yaitu perilaku salah yang disebabkan oleh lingkungan, sebagai tindakan remidiasi. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam pembelajaran perlu diciptakan lingkungan yang kondusif.
- Tantangan bagi disiplin (dare to discipline); yaitu guru diharapkan cekatan, terorganisasi, dan dalam pengendalian yang tegas. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa peserta didik akan menghadapi berbagai keterbatasan pada hari-hari pertama sekolah, dan guru perlu membiarkan mereka untuk mengetahui siapa yang berada dalam posisi sebagai pemimpin. [21]
Dari
kutipan di atas jelaslah bahwa untuk menanamkan dasar-dasar disiplin diri bagi
setiap siswa, guru perlu mengadakan bermacam-macam strategi. Di mana strategi
ini dipergunakan sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan di lapangan. Tindakan
yang paling penting perlu dilakukan oleh guru dalam membina kedisiplinan siswa
adalah teladan yang ditampilkan di depan murid-muridnya mencerminkan bahwa
ianya adalah seorang guru. Artinya guru di dalam ruangan maupun di luar ruangan
tetap perannya adalah seorang guru.
c.
Masyarakat
Masyarakat
merupakan faktor ketiga yang mempengaruhi kedisiplinan siswa dalam belajar.
Lingkungan masyarakat tersedia berbagai tempat yang dapat mempengaruhi siswa
untuk meninggalkan tugas-tugasnya selaku seorang peserta didik. Bermacam-macam
arena dan tempat-tempat yang menyediakan hiburan telah menyita waktu siswa dari
menunaikan tugasnya dalam belajar.
Menurut
Fauzi Saleh bahwa “lingkungan masyarakat tersedia bermacam-macam tempat baik
tempat ibadah maupun tempat-tempat umum, tempat pertemuan, permainan dan
sebagainya. Semua tempat ini merupakan wadah yang dapat mempengaruhi pembinaan
anak.”[22]
Dari
kutipan di atas jelaslah bahwa lingkungan masyarakat adalah lingkungan terakhir
yang mempengaruhi anak dalam membina dirinya. Dengan kata lain bahwa situasi
suatu masyarakat membawa pengaruh yang besar terhadap keberhasilan anak di luar
rumah tangga dan sekolah sebagai pusat pendidikan. Situasi yang baik adalah
situasi yang dapat mendukung perkembangan anak ke arah yang positif terhadap
apa yang dialami di rumah tangga dan sekolah.
Jadi dapat
disimpulkan bahwa situasi masyarakat turut mendukung keberhasilan pembinaan
kedisiplinan anak baik dalam belajar maupun di dalam mengembangkan
potensi-potensi yang ada pada dirinya agar mampu menjalankan tugas-tugas ke
arah yang lebih baik.
[1] Depdikbud, Petunjuk Pelaksanaan Pembinaan Sekolah, (Jakarta:
Dirjen Dikdasmen, 1984), hal. 47.
[2] Slameto, Belajar
dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, Cet. IV, (Jakarta: Rineka Cipta,
2003), hal. 56.
[3] Suharsimi Arikunto,
Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. (Jakarta: Rineka Cipta, 1995), hal. 12.
[5] Paimin, Eka
Joulaningsih., Agar Anak Pintar Matematika. (Jakarta: Puspa Swara, 1998),
hal. 23.
[6] Suryabrata, Psikologi
Pendidikan.( Bandung: Rajawali, 1985), hal. 169.
[7] Slameto, Belajar ..., hal. 106.
[8] Ibid., hal. 170.
[9] Ibid., hal.
85.
[10] Thursan Hakim, Belajar ..., hal. 27.
[11] Winkel, W.S., Psikologi
..., hal. 188.
[12] Slameto, Proses ..., hal. 57.
[13] Winkel, W.S., Psikologi
..., hal. 183.
[14] The Liang Gie, Cara
Belajar yang Efisien (Yogyakarta: Pusat Kemajuan Studi, 1986), hal. 53.
[15] Slameto, Proses ..., hal. 171.
[16] Thursan Hakim, Belajar ..., hal. 17.
[17] Moh. Shochib, Pola ..., hal. 70-86.
[18] Henry N. Siahaan, Peranan …, hal. 28.
[19] Yusuf Arifin, Wartawan BBC Indonesia dalam situs Runtuhnya Disiplin
Berawal dari Keluarga, tanggal 13 Februari 2005.
[20] Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi
Edukatif, Cet. I, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hal. 4.
[21] E. Mulyasa, Implementasi Kurikulum 2004: Pandungan Pembelajaran KBK,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), hal. 21-22.
[22] Fauzi Saleh, Konsep Pendidikan dalam Islam: Pendidikan Keluarga dan
Pengaruhnya terhadap Anak, Cet. I, (Banda Aceh: Yayasan Pena, 2005), hal.
6.
No comments:
Post a Comment