09 June 2015

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Disiplin Sekolah

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Disiplin Sekolah

Kedisiplinan kadang lebih mudah diucapkan dan sangat sukar untuk dijalankan. Semua orang memiliki keinginan untuk menjalankan kedisiplinan, namun tidak sedikit pula yang gagal menjalankan kedisiplinan. Banyak orang yang sukses karena berhasil meningkatkan kedisiplinan dalam hidupnya, namun jarang kita melihat ada orang yang sukses karena tidak disiplin. Berapa banyak orang yang mendapat kedudukan tinggi disebabkan kedisiplinannya dalam menuntut ilmu. Hal ini berarti kesuksesan adalah suatu hal yang mustahil didapat apabial tidak  didukung oleh kedisiplinan.
Menurut Depdikbud menjelaskan bahwa ada dua jenis dorongan yang mempengaruhi disiplin, yaitu: “Pertama, dorongan yang datangnya dari dalam diri manusia, yaitu pengetahuan, kesadaran, dan kemauan untuk berbuat disiplin. Kedua, dorongan yang datangnya dari luar yaitu perintah, larangan, pengawasan, pujian, ancaman, hukuman, ganjaran dan sebagainya.”[1]
Dalam kedisiplinan mengandung beberapa faktor yang sangat mempengaruhi:

  1. Faktor-faktor Internal
Bila kita melihat dari sisi pendidikan, maka ada enam faktor yang berpengaruh dalam membina kedisiplinan dalam diri anak didik, yaitu Intelegensi, Bakat, Perhatian, Motivasi, Minat, Konsentrasi, dan Penghargaan.
a.       Intelegensi
Inteligensi (kecerdasan) mempunyai peranan penting terhadap tinggi atau rendahnya prestasi yang dicapai oleh siswa. Kemajuan untuk berhasil dalam studi di jenjang pendidikan tertentu sangat ditentukan oleh tingkat perkembangan inteligensinya. Menurut Slameto menjelaskan bahwa: “Inteligensi itu adalah kecakapan yang terdiri dari tiga jenis yaitu kecakapan untuk menghadapi dan menyesuaikan ke dalam situasi yang baru dengan cepat dan efektif, mengetahui/menggunakan konsep-konsep yang abstrak secara efektif, mengetahui relasi dan mempelajarinya dengan cepat”.[2]
Kecerdasan seorang anak antara satu dan yang lain berbeda-beda. Dalam kemampuan inteligensi terdapat taraf-taraf dari inteligensi yang tinggi sampai taraf inteligensi yang rendah. Dalam situasi yang sama, siswa yang mempunyai inteligensi yang tinggi akan lebih berhasil dari pada yang mempunyai tingkat inteligensi yang rendah. Siswa yang mempunyai tingkat inteligensi yang normal dapat berhasil dengan baik dalam belajar, jika ia belajar dengan baik.
Menurut Arikunto anak yang inteligen adalah anak yang mempunyai :
1.      Kemampuan untuk bekerja dengan bilangan.
2.      Kemampuan untuk menggunakan bahasa dengan baik.
3.      Kemampuan untuk menangkap sesuatu yang baru.
4.      Kemampuan untuk mengingat-ingat.
5.      Kemampuan untuk memahami hubungan (termasuk menangkap kelucuan).
6.      Kemampuan untuk berfantasi.[3].

Jadi tidak dapat disangkal bahwa prestasi anak yang ditampilkan disekolah mempunyai kaitan yang erat dengan tingkat kecerdasan.
b.      Bakat
Setiap anak mempunyai bakat yang berbeda-beda. Perbedaan ini terletak pada jenis bakat. Ada yang berbakat musik melukis, ada yang berbakat mengoperasikan angka-angka, ada juga yang berbakat teknik dan sebagainya. Sebagaimana Crow and Crow dikutip oleh Nurkancana, mengemukakan bahwa “bakat (aptitude) adalah suatu kualitas yang nampak pada tingkah laku manusia pada suatu lapangan keahlian tertentu seperti musik, seni pengarang, kecakapan dalam matematika, keahlian dalam bidang mesin, atau keahlian-keahlian lain.”[4] Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa bakat adalah kemampuan khusus yang ada dalam diri seseorang. 
Menurut S.C. Utami Munandar dikutip oleh Paimin, bahwa  “bakat (aptitude) pada umumnya diartikan sebagai kemampuan bawaan, sebagai potensi yang masih perlu dikembangkan dan dilatih agar dapat terwujud. Sedangkan kemampuan merupakan daya upaya untuk melakukan suatu tindakan sebagai hasil dari pembawaan.”[5] Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bakat dan kemampuan dapat menentukan prestasi seseorang.
Untuk mengembangkan bakat yang dimiliki seseorang diperlukan fasilitas yang tepat sehingga dapat menunjang kreatifitasnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Suryabrata  bahwa “Seseorang akan lebih berhasil kalau dia belajar dalam lapangan yang sesuai dengan bakatnya.”[6] Demikian halnya dengan siswa yang belajar, apabila pelajaran yang dipelajari sesuai dengan bakatnya maka hasil belajarnya lebih baik karena ia  senang belajar dan akan lebih giat lagi belajar.
Dari kutipan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa belajar akan memberikan hasil yang lebih baik apabila berada dalam bidang yang sesuai dengan bakatnya. Oleh karena itu factor bakat perlu mendapat perhatian yang serius dalam setiap kegiatan belajar mengajar.
c.       Perhatian
Perhatian adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dalam hubungannya dengan pemilihan rangsangan yang datang dari lingkungannya. Dalam keadaan ini, siswa yang menaruh perhatian yang besar terhadap segala sesuatu yang disampaikan oleh gurunya, maka dengan cepat ia dapat memahami dan menggurui apa yang telah ditemukannya. Menurut Slameto bahwa “Perhatian adalah pengerahan segenap kemampuan indera atau sistem persepsinya untuk menerima informasi tentang sesuatu.”[7]
Dari kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa seorang siswa yang menaruh perhatian dalam setiap proses belajar mengajar, berarti siswa tersebut berupaya untuk menetapkan suatu tekad dapat belajar dengan baik. Di samping itu perhatian juga merupakan pintu awal bagi seseorang untuk menggapai kesuksesan yang lebih besar. Jadi tanpa adanya perhatian, mustahil bagi seseorang untuk memulai kedisiplinan dalam dirinya.
d.      Motivasi
Motivasi adalah “suatu proses yang terjai pada diri seseorang yang menentukan tingkatan kegiatan yang berkaitan dengan intensitas, konsistensi serta arah umum dari tingkah laku manusia.[8] Melalui motivasi peserta didik dapat menjadikan harapan (cita-cita) dan target belajar sebagai dasar motif yang patut dikembangkan dalam rangka mencapai tujuan dan harapan.
Semakin tinggi harapan dan target yang dihendak dicapai oleh siswa maka semakin tinggi pula tingkat kedisiplinan yang harus dijalankan oleh siswa. Agar target dan harapannya tidak menjadi sia-sia atau kandas di tengah jalan. 
Motivasi belajar merupakan motor penggerak yang mengaktifkan siswa untuk melibatkan diri. Salah satu tugas pengajar di sekolah adalah membangkitkan motivasi belajar itu pada siswa, terutama motivasi untuk menguasai ilmu pengetahuan yang diberikan. Hasil belajar akan menjadi optimal kalau ada motivasi. Makin tepat motivasi yang diberikan, akan makin berhasil pula pelajaran itu. Jadi motivasi akan senantiasa menentukan intensitas usaha belajar bagi para siswa.  Motivasi bertalian dengan tujuan, dengan demikian motivasi itu mempengaruhi adanya kegiatan. Sehubungan dengan itu maka Sardiman mengemukakan ada tiga fungsi motivasi :
1.      Mendorong manusia untuk berbuat, jadi sebagai penggerak atau motor yang melepaskan energi,
2.      Menentukan arah perbuatan, yakni kearah tujuan yang hendak dicapai,
3.      Menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan.[9]
Berdasarkan kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa seseorang melakukan suatu usaha karena danya motivasi. Adanya motivasi yang baik dalam belajar akan menunjukkan hasil yang baik, tanpa adanya motivasi yang kuat maka aktifitas belajar seseorang tidak akan berfungsi dengan baik. Karena dengan motivasi yang kuat dapat mendorong seseorang melakukan usaha untuk meningkatkan prestasi.
Lebih lanjut Thursan Hakim menjelaskan manfaat motivasi, yaitu:
1.      Memberikan dorongan semangat kepada siswa atau mahasiswa untuk rajin belajar dan mengawasi kesulitan belajar.
2.      Mengarahkan kegiatan belajar siswa atau mahasiswa kepada suatu tujuan tertentu yang berkaitan dengan masa depan dan cita-cita.
3.      Membantu siswa atau mahasiswa untuk mencari suatu metode belajar yang tepat dalam mencapai tujuan belajar yang diinginkan.[10]

Motivasi belajar di sekolah lazim dibedakan atas dua jenis, yaitu motivasi intrinsic dan Motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah motivasi yang timbul dari dalam diri manusia tanpa adanya rangsangan atau bantuan dari orang lain. Pada motivasi intrinsic siswa belajar karena ingin menguasai bahan pelajaran, ingin menjadi orang yang terdidik atau ingin menjadi ahli di bidang ilmu tertentu. Keinginannya ini hanya dapat tercapai dengan belajar sehingga ia belajar lebih giat. Sedangkan motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang berasal dari luar individu yang bersangkutan.
e.       Minat
Minat adalah sangat penting dalam pendidikan karena merupakan sumber dari usaha. Menurut Winkel bahwa “minat diartikan sebagai kecenderungan subjek yang menetap, untuk merasa tertarik pada bidang studi atau pokok bahasan tertentu dan merasa senang mempelajari materi itu.”[11] Jadi seorang siswa yang mempunyai minat terhadap proses belajar yang diikutinya akan memberikan perhatian secara terus menerus disertai dengan perasaan senang sehingga diperoleh kepuasan. Belajar dengan penuh minat akan lebih mendorong untuk belajar lebih baik dan akan meningkatkan hasil belajar.
Slameto mengemukakan bahwa “minat besar pengaruhnya terhadap belajar, karena bila bahan pelajaran yang dipelajari tidak sesuai dengan minat siswa, siswa tidak akan belajar dengan baik karena tidak ada daya tarik baginya.”[12] Dengan demkian seorang tenaga pengajar haruslah membangkitkan minat siswa untuk menguasai pengetahuan yang terkandung dalam bidang studinya. Guru sebagai pengajar jangan hanya memperhatikan bahan pelajaran akan tetapi harus bisa menarik perhatian anak dan menggunakan metode yang sesuai dengan pelajaran yang diajarkan sehingga menimbulkan minat anak dalam mengikuti pelajaran.
Jadi dapat disimpulkan bahwa seorang guru yang dapat menciptakan dan menggairahkan minat belajar pada diri siswa dapat menjadi proses awal terjadi proses kedisiplinan pada diri pribadi anak didik. Artinya pada diri siswa akan tumbuh suatu sikap di mana bila tidak berhasil mengikuti pelajaran yang dimaksud sepertinya tidak akan menemukan kenikmatan dan kesenangan dalam proses belajarnya.
f.       Konsentrasi
Untuk dapat menjamin hasil belajar yang baik, siswa harus mempunyai perhatian terhadap bahan yang dipelajarinya. Menurut Winkel bahwa “konsentrasi adalah pemusatan tenaga dan energi psikis dalam menghadapi suatu objek, dalam hal ini peristiwa proses belajar mengajar di kelas dan apa yang berkaitan dengan itu.”[13]  Selanjutnya konsentrasi menurut Gie adalah “Pemusatan pikiran terhadap suatu hal dengan menyampingkan semua hal yang tidak berhubungan. Dalam belajar maka konsentrasi berarti pemusatan pikiran terhadap suatu mata pelajaran dengan menyampingkan semua hal lainnya yang tidak berhubungan dengan pelajaran tersebut.”[14]
Konsentrasi dalam belajar berkaitan dengan kemauan dan hasrat untuk belajar. Konsentrasi dalam belajar dipengaruhi pula oleh perasaan siswa dan minatnya dalam belajar. Jadi siswa yang berperasaan tidak senang dan tidak berminat terhadap materi pelajaran akan mengalami kesulitan dalam memusatkan tenaga dan pikirannya. Sebaliknya siswa yang mempunyai perasaan senang dan penuh minat akan mudah berkonsentrasi dalam belajar.
Seorang siswa yang mempunyai daya konsentrasi yang tinggi terhadap pelajaran yang sedang diikutinya akan lebih cepat mengerti dan memahami apa yang dipelajarinya. Oleh karena itu dalam suatu situasi belajar hendaklah sedapat mungkin diciptakan suasana yang tidak mengganggu konsentrasi siswa yang belajar, baik itu gangguan yang berasal dari siswa itu sendiri maupun dari luar siswa.
g.      Penghargaan
Penghargaan merupakan suatu bentuk motif yang mempengaruhi seseorang untuk mencapai suatu tujuan. Seorang guru yang mudah memberikan penghargaan memiliki peluang untuk meningkatkan taraf kedisiplinan siswa dalam rangka mencapai keberhasilan dalam belajar. Menurut Slameto, “penghargaan adalah kebutuhan rasa berguna, penting, dihargai, dikagumi, dihormati oleh orang-orang lain.”[15]
Dari kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa setiap orang perlu dirasakan kehadirannya dalam sebuah kelompok belajar, dihargai, dan memiliki makna bagi yang lain. Faktor ini memiliki pengaruh yang besar dalam meningkatkan kedisiplinan siswa dalam belajar. Seorang siswa yang merasa dihargai dalam ruangan kelas, tentu akan berusaha menjawab penghargaaan tersebut dengan mengikuti setiap aturan dan tata tertib serta mengikuti proses belajar mengajar dengan penuh semangat.
Jadi dengan guru memberikan penghargaan yang setimpal terhadap siswa dalam proses belajar mengajar akan dapat memberikan pengaruh yang positif bagi siswa dalam rangka menciptakan konsep disiplin diri dalam belajarnya.

2.      Faktor-faktor Eksternal

Bila kita melihat dari sisi pendidikan, maka ada tiga faktor yang berpengaruh dalam membina kedisiplinan dalam diri anak didik, yaitu orang tua, guru, dan lingkungan.
a.       Orang tua
Orang tua adalah komponen pertama yang sangat berpengaruh dalam pembinaan kedisiplinan terhadap siswa. Karena pada dasarnya siswa yang ada di sekolah adalah kumpulan anggota keluarga yang berkumpul, sehingga pembinaan kedisiplinan terutama sekali mesti dimulai dari orang tua. Orang tua memiliki peran yang besar dalam meletakkan dasar-dasar disiplin diri. Karena apabila disiplin sudah terbentuk dari rumah tangga, maka untuk selanjutnya kedisiplinan akan terbentuk pada diri anak didik di mana pun ia berada.
Menurut Thursan Hakim menjelaskan bahwa: “Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama dalam menentukan perkembangan pendidikan seseorang, dan faktor pertama dan utama pula dalam menentukan keberhasilan belajar seseorang.”[16]
Dari kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa orang tua berperan dasar dalam mengembangkan berbagai potensi yang dimiliki anak. Peran keluarga yang dominan dalam menanamkan dasar-dasar disiplin diri bagi anak akan sangat bermanfaat bagi pengembangan diri anak itu sendiri. Karena disiplin yang dimulai dari keluarga akan lebih kuat penanaman nilainya dibandingkan dengan penegakan disiplin dari luar keluarga. Hal ini dapat dilihat anak yang disiplin dalam keluarga lebih mudah untuk dibina, dilatih dan dididik. Sementara anak yang tidak disiplin dalam keluarga lebih susah untuk diberikan pembinaan, pelatihan dan pendidikan.
Menurut Moh. Shochib ada beberapa upaya orang tua yang mampu membantu anak didik dalam mengembangkan dasar-dasar disiplin diri, yaitu:
1)      Penataan Lingkungan Fisik
2)      Penataan Lingkungan Sosial
3)      Penataan Lingkungan Pendidikan
4)      Dialog-dialog Keluarga
5)      Penataan Suasana Psikologis Keluarga
6)      Penataan Sosiobudaya Keluarga
7)      Perilaku Orang Tua Saat Terjadinya Pertemuan dengan Anak
8)      Kontrol orang tua terhadap Perilaku Anak
9)      Nilai Moral yang Menjadi Dasar Berperilaku Orang Tua dan yang Diupayakan kepada Anak[17]

Dari kutipan di atas jelaslah bahwa keluarga memiliki peran yang sangat vital dalam meletakkan dasar-dasar disiplin bagi anak didik. Dasar-dasar disiplin dalam keluarga sangat penting, karena dapat menjadi modal dasar bagi anak didik untuk mengembangkan kedisiplinan selanjutnya. Orang tua yang sukses mengembangkan dasar-dasar disiplin kepada anak-anaknya, lebih mudah dididik dan diajarkan dari pada orang tua yang tidak memiliki pola pembinaan dasar-dasar disiplin dalam keluarga.
Henry N. Siahaan dalam bukunya Peranan Ibu Bapak Mendidik Anak menjelaskan bahwa “situasi keluarga sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan kepribadian seorang anak.”[18]
Kutipan di atas menjelaskan bahwa untuk dapat menanamkan kedisiplinan pada anak, keluarga harus dapat berfungsi sebagai pelindung bagi anggota keluarganya. Artinya anak didik merasa nyaman dan bahagia berada di dalam keluarga. Menurut Yusuf Arifin, “kedisiplinan bermula jatuh dari dalam keluarga, dalam arti bahwa bagaimana seseorang membina kedisiplinan kepada anak, sementara anak itu sendiri tidak pernah menghormati orang tuanya sendiri.”[19]
b.      Guru (Pengajar)
Pada dasanya guru adalah orang tua kedua bagi siswa di sekolah. Karena pada dasarnya pendidikan bagi anak adalah tanggung jawab dari pada orang tuanya sendiri. Namun adanya keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh setiap orang tua maka kewajiban tersebut dipindahkan kepada sang guru untuk mengatasi keterbatasan-keterbatasan orang tua. Oleh karena itu sosok guru harus mampu menjadikan dirinya sebagai teladan dan patut dicontoh oleh semua anak didik.
Menurut Syaiful Bahri Djamarah bahwa
Guru adalah figur yang diteladani oleh semua pihak, terutama oleh anak didiknya di sekolah. Guru adalah bapak rohani bagi anak didiknya. Kebaikan rohani anak didik tergantung dari pembinaan dan bimbingan guru. Karena tugas dan tanggung jawab guru adalah meluruskan tingkah laku dan perbuatan anak didik yang kurang baik, yang dibawanya dari lingkungan keluarga dan masyarakat. Sehingga guru adalah mitra anak didik dalam kebaikan.[20]

Dari kutipan di atas jelaslah bahwa untuk meningkatkan kedisiplinan, guru memiliki pengaruh yang besar dalam menentukan ke arah mana siswa akan dibina. Artinya guru yang memiliki tanggung jawab moral yang tinggi dalam pembinaan siswa, ia akan berupaya memberikan yang terbaik bagi siswa di mana ia menanamkan dasar-dasar kedisiplinan sebagai bekal anak dalam menuntut ilmu tentunya.
Reisman dan Payne sebagaimana dikutip oleh E. Mulyasa menjelaskan bahwa ada 9 strategi untuk mendisiplinkan peserta didik, yaitu:
  1. Konsep diri (self concept); yaitu konsep-konsep diri masing-masing individu merupakan faktor penting dari setiap perilaku. Untuk menumbuhkan konsep diri, guru disarankan bersikap empatik, menerima, hangat, dan terbuka, sehingga peserta didik dapat mengeksplorasikan pikiran dan perasaannya dalam memecahkan masalah.
  2. Keterampilan berkomunikasi (communication skills); yaitu guru harus memiliki keterampilan komunikasi yang efektif agar mampu menerima semua perasaan, dan mendorong timbulnya kepatuhan peserta didik.
  3. Konsekuensi-konsekuensi logis dan alami (natural and logical consequences); yaitu perilaku-perilaku yang salah terjadi karena peserta didik telah mengembangkan kepercayaan yang salah terhadap dirinya. Hal ini mendorong munculnya perilaku-perilaku salah. Untuk itu, guru disarankan: a) menunjukkan secara tepat tujuan perilaku yang salah, sehingga membantu peserta didik dalam mengatasi perilakunya, dan b) memanfaatkan akibat-akibat logis dan alami dari perilaku yang salah.
  4. Klarifikasi nilai (values clarification); yaitu guru harus membantu peserta didik dalam menjawab pertanyaan sendiri tentang nilai-nilai dan membentuk sistem nilainya sendiri.
  5. Analisis transaksional (transactional analysis); yaitu guru belajar sebagai seorang dewasa, terutama apabila berhadapan dengan peserta didik yang menghadapi masalah.
  6. Terapi realitas (reality therapy); yaitu sekolah harus berupaya mengurangi kegagalan dan meningkatkan keterlibatan. Dalam hal ini guru harus bersikap positif dan bertanggung jawab.
  7. Disiplin yang terintegrasi (assertive discipline); yaitu guru mesti dapat mengembangkan dan mempertahankan peraturan.
  8. Modifikasi perilaku (behavior modification); yaitu perilaku salah yang disebabkan oleh lingkungan, sebagai tindakan remidiasi. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam pembelajaran perlu diciptakan lingkungan yang kondusif.
  9. Tantangan bagi disiplin (dare to discipline); yaitu guru diharapkan cekatan, terorganisasi, dan dalam pengendalian yang tegas. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa peserta didik akan menghadapi berbagai keterbatasan pada hari-hari pertama sekolah, dan guru perlu membiarkan mereka untuk mengetahui siapa yang berada dalam posisi sebagai pemimpin. [21]

Dari kutipan di atas jelaslah bahwa untuk menanamkan dasar-dasar disiplin diri bagi setiap siswa, guru perlu mengadakan bermacam-macam strategi. Di mana strategi ini dipergunakan sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan di lapangan. Tindakan yang paling penting perlu dilakukan oleh guru dalam membina kedisiplinan siswa adalah teladan yang ditampilkan di depan murid-muridnya mencerminkan bahwa ianya adalah seorang guru. Artinya guru di dalam ruangan maupun di luar ruangan tetap perannya adalah seorang guru.  
c.       Masyarakat
Masyarakat merupakan faktor ketiga yang mempengaruhi kedisiplinan siswa dalam belajar. Lingkungan masyarakat tersedia berbagai tempat yang dapat mempengaruhi siswa untuk meninggalkan tugas-tugasnya selaku seorang peserta didik. Bermacam-macam arena dan tempat-tempat yang menyediakan hiburan telah menyita waktu siswa dari menunaikan tugasnya dalam belajar.
Menurut Fauzi Saleh bahwa “lingkungan masyarakat tersedia bermacam-macam tempat baik tempat ibadah maupun tempat-tempat umum, tempat pertemuan, permainan dan sebagainya. Semua tempat ini merupakan wadah yang dapat mempengaruhi pembinaan anak.”[22]
Dari kutipan di atas jelaslah bahwa lingkungan masyarakat adalah lingkungan terakhir yang mempengaruhi anak dalam membina dirinya. Dengan kata lain bahwa situasi suatu masyarakat membawa pengaruh yang besar terhadap keberhasilan anak di luar rumah tangga dan sekolah sebagai pusat pendidikan. Situasi yang baik adalah situasi yang dapat mendukung perkembangan anak ke arah yang positif terhadap apa yang dialami di rumah tangga dan sekolah.
Jadi dapat disimpulkan bahwa situasi masyarakat turut mendukung keberhasilan pembinaan kedisiplinan anak baik dalam belajar maupun di dalam mengembangkan potensi-potensi yang ada pada dirinya agar mampu menjalankan tugas-tugas ke arah yang lebih baik.


[1] Depdikbud, Petunjuk Pelaksanaan Pembinaan Sekolah, (Jakarta: Dirjen Dikdasmen, 1984), hal. 47.
[2] Slameto, Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, Cet. IV, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hal. 56.
[3] Suharsimi Arikunto, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. (Jakarta: Rineka Cipta, 1995), hal. 12.
[4] Wayan Nurkancana, Evaluasi Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), hal. 190.
[5] Paimin, Eka Joulaningsih., Agar Anak Pintar Matematika. (Jakarta: Puspa Swara, 1998), hal. 23.
[6] Suryabrata, Psikologi Pendidikan.( Bandung: Rajawali, 1985), hal. 169.
[7] Slameto, Belajar ..., hal. 106.
[8] Ibid., hal. 170.
[9] Ibid., hal. 85.
[10] Thursan Hakim, Belajar ..., hal. 27.
[11] Winkel, W.S., Psikologi ..., hal. 188.
[12] Slameto, Proses ..., hal. 57.
[13] Winkel, W.S., Psikologi ..., hal. 183.
[14] The Liang Gie, Cara Belajar yang Efisien (Yogyakarta: Pusat Kemajuan Studi, 1986), hal. 53.
[15] Slameto, Proses ..., hal. 171.
[16] Thursan Hakim, Belajar ..., hal. 17.
[17] Moh. Shochib, Pola ..., hal. 70-86.
[18] Henry N. Siahaan, Peranan …, hal. 28.
[19] Yusuf Arifin, Wartawan BBC Indonesia dalam situs Runtuhnya Disiplin Berawal dari Keluarga, tanggal 13 Februari 2005.
[20] Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, Cet. I, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hal. 4.
[21] E. Mulyasa, Implementasi Kurikulum 2004: Pandungan Pembelajaran KBK, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), hal. 21-22.
[22] Fauzi Saleh, Konsep Pendidikan dalam Islam: Pendidikan Keluarga dan Pengaruhnya terhadap Anak, Cet. I, (Banda Aceh: Yayasan Pena, 2005), hal. 6.

No comments: