09 June 2015

Ciri-ciri Active Learning

Ciri – ciri Active Learning

Ciri – ciri active learning bertujuan agar pola pembelajaran yang diterapkan oleh guru dapat berjalan dengan maksimal dan sempurna. Karena pola belajar siswa  adalah suatu cara atau tindakan yang dilakukan dalam proses belajar antara pendidik dengan peserta didik agar dapat tercapai kepada target pendidikan yang telah di tetapkan bersama secara nasional. Perubahan besar yang terjadi pada masyarakat dan bangsa Indonesia khususnya serta masyarakat dan bangsa- bangsa di dunia pada umumnya menuntut adanya penyesuaian- penyesuaian tertentu dalam bidang pendidikan. Pendidikan tidak lagi cukup diselenggarakan secara tradisional, berjalan apa adanya tanpa adanya target yang jelas dan tidak adanya prosedur pencapaian target yang terbukti efektif dan efesien.
Adapun pola pembelajaran siswa tersebut dapat digolongkan ke dalam tujuh tipe dimana yang satu merupakan pra syarat bagi yang lainnya yang saling membutuhkan satu sama lain menurut tingkatannya, dimana tipe tersebut dapat dibedakan berdasarkan kondisi yang diperlukan dilapangan. Ketujuh tipe tersebut adalah:
  1. Signal learning ( belajar isyarat )
Signal learning dapat diartikan sebagai “proses penguasaan pola dasar perilaku yang bersifat involuntary atau tidak disengaja dan tidak disadari tujuannya.”[1] Tipe ini merupakan tipe dasar dari semua pola belajar siswa, sehingga tidak menuntut persyaratan, namun merupakan tingkat yang harus dilalui oleh semua tipe untuk tipe belajar yang lebih tinggi. Dalam tipe ini lebih banyak melibatkan aspek emosional didalamnya.

  1. Stimulus- Respon Learning (belajar  tanggapan rangsangan )
Proses belajar ini dapat diartikan dengan “proses belajar bahasa pada anak- anak, dan ada juga yang mengartikan pola belajar ini pola trial and error.”[2] Tipe ini digolongkan dalam jenis classical condition atau tipe instrumental condition. Tipe ini lebih menitik beratkan kepada panca indra sianak (siswa).
  1. Chaining ( mempertautkan )
Tipe ini diartikan dengan “belajar mengajar yang menghubungkan rangsangan tanggapan antara satu sama lainnya.”[3] Dalam hal ini anak didik harus sudah menguasai sejumlah satuan belajar baik itu secara psikomotorik maupun verbal.
  1. Discrimination learning ( belajar membedakan ).
Tipe pola pembelajaran ini berguna untuk “kemahiran melakukan pembedaan serta pengalaman dapat dikembangkan dalam pola pembelajaran ini.”[4] Dan dalam tipe ini, peserta didik mengadakan seleksi atau pengujian antara dua perangsang yang dapat diterimanya, kemudian siswa dapat memilih mana yang cocok menurutnya. 
  1. Concept learning ( belajar pengertian ).
Pola pembelajaran ini lebih menitik beratkan kepada “kemahiran dan kognitif fundamentalis siswa untuk mendiskriminasikan segala sesuatu hal yang dianggapnya tidak sesuai dengan kaedah pembelajaran yang sedang dijalaninya.”[5] Hal ini dapat mereka lakukan dengan cara mencari kesamaan dari ciri- ciri objek- objek dalam pendidikan.
  1. Rule learning ( belajar membuat hukum atau kaidah ).
Pada pola pembelajaran ini siswa belajar mengadakan kombimasi berbagai konsep dengan cara mengoperasikan atau menjalankan kaidah sesuai dengan sistem pendidikan, sehingga peserta didik dapat memberikan kesimpulan tertentu yang mungkin selanjutnya dapat dipandang sebagai sebuah aturan. Dalam tipe ini “peserta harus dapat memegang peran aktif.”[6]
  1. Problem solving ( belajar memecahkan masalah ).
Pada tahap ini siswa belajar untuk dapat merumuskan dan memecahkan masalah, memberi respon terhadap ransangan yang menggambarkan atau membangkitkan situasi permasalahan, mempergunakan berbagai kaidah yang telah dikuasainya. Dalam pola pembelajaran ini peserta didik dihadapkan pada situasi keraguan dan kekaburan sehingga merasakan adanya kesulitan untuk merumuskan dan menegaskan masalah, mencari fakta pendukung dan merumuskan hipotesis, mengevaluasi alternatif pemecahan yang perlu dikembangkan, dan mengadakan pengujian alternatif pemecahan yang akan dipilih.
Ketujuh pola pembelajaran tersebut tetap didasari atas aspek kompetensi sebagai acuan dalam penerapan belajar aktif, yaitu: “Pengetahuan (Knowlegde), Pemahaman (Understanding), Kemampuan (Skill), Nilai (Value), Sikap (Attiude), dan Minat (Interest).”[7]
Dalam kurikulum berbasis kompetensi (KBK) mencakup seleksi kompetensi yang sesuai, spesifikasi indikator-indikator evaluasi untuk menentukan kesuksesan pencapaian kompetensi dan pengembangan sistem pembelajaran. Di samping itu KBK memiliki sejumlah kompetensi yang harus dikuasai peserta didik, penilaian dilakukan berdasarkan standar khusus sebagai hasil demontrasi kompetensi yang ditunjukkan oleh peserta didik.
Pembelajaran lebih ditekankan pada kegiatan individual personal untuk menguasai kompetensi yang disyaratkan, peserta didik dapat dinilai kompetensinya kapan saja bila mereka telah siap, dan dalam pembelajaran peserta didik dapat maju sesuai dengan kecepatan dan kemampuan masing- masing. Dari gambaran tersebut maka jelas terlihat bahwa kurikulum berbasis kompetensi (KBK) mempunyai beberapa ciri dalam pelaksanaannya, antara lain:
  1. Menekankan pada pencapaian kompetensi siswa, baik secara individual maupun klasikal.
  2. Berorientasi pada hasil belajar dan keberagaman.
  3. Menggunakan multi-metode dalam penyampaian materi.
  4. Sumber belajar tidak hanya guru, tetapi juga sumber lain yang mempunyai unsur educatif. dan
  5. Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar.”[8]

Berdasarkan gambaran tersebut di atas maka dalam pembelajaran aktif belajar (active learning) dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain sebagai berikut:
1.      Kebiasaan; seperti : peserta didik belajar bahasa berkali-kali menghindari kecenderungan penggunaan kata atau struktur yang keliru, sehingga akhirnya ia terbiasa dengan penggunaan bahasa secara baik dan benar.
2.      Keterampilan; seperti : menulis dan berolah raga yang meskipun sifatnya motorik, keterampilan-keterampilan itu memerlukan koordinasi gerak yang teliti dan kesadaran yang tinggi.
3.      Pengamatan; yakni proses menerima, menafsirkan, dan memberi arti rangsangan yang masuk melalui indera-indera secara obyektif sehingga peserta didik mampu mencapai pengertian yang benar.
4.      Berfikir asosiatif; yakni berfikir dengan cara mengasosiasikan sesuatu dengan lainnya dengan menggunakan daya ingat.
5.      Berfikir rasional dan kritis yakni menggunakan prinsip-prinsip dan dasar-dasar pengertian dalam menjawab pertanyaan kritis seperti “bagaimana” (how) dan “mengapa” (why).
6.      Sikap yakni kecenderungan yang relatif menetap untuk bereaksi dengan cara baik atau buruk terhadap orang atau barang tertentu sesuai dengan pengetahuan dan keyakinan.
7.      Inhibisi (menghindari hal yang mubazir).
8.      Apresiasi (menghargai karya-karya bermutu.
9.      Perilaku afektif yakni perilaku yang bersangkutan dengan perasaan takut, marah, sedih, gembira, kecewa, senang, benci, was-was dan sebagainya. [9]




[1] Mulyono Abdurrahman, Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar, ( Jakarta : Rineka Cipta dan Departemen Pendidikan Dan kebudayaan, 2003 ), hal 98

[2] Ibid, hal 100

[3] Melvin L. Silberman, Active Learning 101 Cara Belajar Siswa Aktif.., hal 24

[4] Ibid, hal 50

[5] B. Suryosubroto, Proses Belajar Mengajar Di Sekolah, …, hal 24

[6] Ibid, hal 26

[7] E. Mulyasa,  Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsep, Karakteristik, dan Implementasi, (Jakarta: Rhineka Cipta, 2001), hal 38

[8] Ibid, hal 42

[9] Mulyono Abdurrahman, Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar …, hal. 142

No comments: