Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, minat
atau keinginan adalah “kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu”.[1]
Berdasarkan arti kata tersebut dapat dipahami bahwa minat merupakan suatu
kecenderungan yang sangat tinggi. Minat dapat dipahami sebagai rasa ingin
memiliki, maka rasa ingin memiliki tersebut sangat tinggi dalam arti bersedia
mengorbankan apapun demi memperolehnya. Jika dihubungkan dengan rasa ingin
tahu, maka rasa ingin tahu tersebut juga sangat tinggi. Sehingga untuk
mengetahui yang diminati tersebut seseorang dengan rela melakukan apapun, seperti
belajar sampai larut malam.
Sementara itu pengertian minat
telah banyak pula diberikan oleh para ahli, terutama ahli psikologi. Menurut
Getzel sebagaimana dikutip oleh Depdiknas, minat adalah “suatu disposisi yang
terorganisir melalui pengalaman yang mendorong seseorang untuk memperoleh objek
khusus, aktivitas, pemahaman, dan keterampilan untuk tujuan perhatian atau
pencapaian. Minat termasuk karakteristik afektif yang memiliki intensitas
tinggi”. [2]
Definisi lain tentang
minat juga dikemukakan oleh Muhibbin Syah. Menurutnya, minat (interest) merupakan
“kecenderungan dan kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap
sesuatu”.[3]
Senada dengan pendapat
tersebut, Tohirin mengemukakan bahwa minat adalah “perasaan senang atau tidak
senang terhadap suatu objek. Misalnya minat siswa terhadap mata pelajaran PAI
akan berpengaruh terhadap usaha belajarnya, dan pada gilirannya akan dapat
berpengaruh terhadap hasil belajarnya”.[4]
Selain itu, Hilgard
sebagaimana dikutip oleh Slameto mendefinisikan minat atau interest sebagai “persisting
tendency to pay attention to and enjoy some activity or content”. [5]
Dalam Bahasa Indonesia adalah kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan
mengenang beberapa kegiatan.
Definisi ini membedakan
minat dengan perhatian. Perhatian sifatnya sementara (tidak dalam waktu yang
lama) dan belum tentu diikuti dengan perasaan senang, sementara minat berlangsung
secara terus menerus dan diikuti dengan perasaan senang.
Berdasarkan pendapat
Getzel dapat disimpulkan bahwa minat suatu kondisi afektif seseorang yang
berintesitas tinggi dan terorganisir melalui pengalaman. Adanya minat ini akan
melahirkan dorongan bagi individu bersangkutan untuk memiliki hal yang
diminatinya. Akibatnya untuk memperoleh hal yang diminati tersebut ia akan
dengan rela melakukan semua kegiatan yang memuluskannya untuk meraih hal yang
diminatinya.
Pendapat Muhibbin Syah mengantarkan
kita pada suatu pemahaman bahwa minat merupakan suatu kondisi jiwa seseorang
yang sangat bergairah untuk memperoleh sesuatu. Ini merupakan suatu kondisi
yang amat penting bagi seseorang siswa dalam mempelajari sesuatu. Adanya
keinginan yang sangat tinggi ini melahirkan suatu tindakan yang diperlukan
untuk mendapatkan yang diminatinya. Sementara itu pendapat Tohirin memberikan
pemahaman bahwa minat adalah rasa senang atau tidak senang terhadap sesuatu.
Rasa senang berarti memiliki minat yang tinggi, sebaliknya rasa tidak senang
menunjukkan kepada tidak ada minat. Minat belajar siswa dengan sendirinya akan
berpengaruh kepada belajar dan hasil belajar dalam mata pelajaran, misalnya
PAI.
Berdasarkan berbagai definisi
di atas dapat disimpulkan bahwa minat adalah suatu kecenderungan jiwa yang
terorganisir melalui pengalaman sehingga melahirkan dorongan untuk memiliki
sesuatu yang ditunjukkan oleh perasaan senang. Minat tersebut akan melahirkan
usaha sungguh-sungguh dari individu yang bersangkutan untuk memilikinya.
Misalnya, minat siswa terhadap pelajaran Pendidikan Agama Islam akan
menyebabkan siswa tersebut untuk belajar dengan baik.
2.
Pengertian belajar
Jika kita telusuri
buku-buku yang berhubungan dengan belajar maka akan kita temukan bermacam
redaksi tentang pengertian belajar. Pengertian yang diberikan tersebut umumnya
didasarkan pada aliran psikologi yang dianut ahli yang bersangkutan.
Menurut pandangan
Behavioris, belajar adalah “perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya
interaksi antara stimulus dan respon”.[6]
Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam
hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil
interaksi antara stimulus dan respon. Seorang dianggap telah belajar sesuatu
jika ia dapat menunjukkan perubahan tingkah lakunya. Pengertian tersebut juga
memberikan gambaran bahwa para behavioris lebih mementingkan input (stimulus)
dan output (respon) serta cenderung mengeyampingkan proses.
Menurut Syamsu Yusuf belajar adalah “suatu
proses perubahan prilaku sebagai hasil usaha individu berdasarkan pengalamannya
dalam berinteraksi dengan lingkungannya”.[7]
Pengertian ini senada dengan yang dinyatakan oleh Oemar Hamalik bahwa belajar
adalah “suatu proses perubahan tingkah laku individu melalui interaksi dengan
lingkungannya...Belajar bukan hanya mengingat akan tetapi lebih luas dari itu,
yaitu mengalami”.[8]
Dari definisi di atas dapat disimpulkan
bahwa belajar merupakan suatu proses perubahan prilaku atau tingkah laku
individu sebagai akibat dari interaksinya dengan lingkungan. Pengertian belajar
ini mengisyaratkan bahwa perubahan prilaku seorang individu hanya dapat
terwujud apabila individu yang bersangkutan berinteraksi dengan lingkungannya.
Reber dalam kamusnya “Dictionary of
Psychology” sebagaimana dikutip oleh Muhibbin Syah membatasi belajar dengan
dua pengertian, yakni :
Pertama, belajar adalah The process of acquiring
knowlwdge, yakni proses memperoleh pengetahuan. Kedua, belajar
adalah A relatively permanent change in respons potentiality which occurs as
a result of reinforced practice, yaitu suatu perubahan kemampuan bereaksi
yang relatif langgeng sebagai hasil latihan yang diperkuat.[9]
Dari definisi di atas terdapat empat macam
istilah yang mendasar dan perlu mendapat perhatian khusus untuk memahami
tentang belajar. Adapun istilah-istilah tersebut adalah relatively permanent
(yang secara umum menetap), respons potentiality (kemampuan
bereaksi), reinforced (yang diperkuat), dan practice (praktik
atau latihan).
Istilah relatively permanent (yang
secara umum menetap) menunjukkan bahwa perubahan yang bersifat sementara tidak
dapat dikategorikan dalam belajar. Contoh perubahan yang bersifat sementara
seperti perubahan karena lelah, jenuh, mabuk dan perubahan karena kematangan
fisik. Perubahan yang dapat dikategorikan sebagai proses belajar adalah
perubahan yang bersifat menetap (bertahan).
Adapun istilah respons
potentiality (kemampuan bereaksi) menunjukkan pengakuan terhadap adanya
perbedaan antara belajar dan penampilan atau kinerja hasil-hasil belajar. Hal
ini menggambarkan keyakinan bahwa belajar merupakan kejadian yang bersifat
hipotetik, yang hanya dapat dikenali melalui perubahan kinerja akademik yang
dapat diukur.
Istilah reinforced (yang
diperkuat) bermakna bahwa kemajuan yang didapat dari proses belajar mungkin
akan hilang atau sangat lemah jika tidak diberikan penguatan. Sedangkan istilah
practice (praktik atau latihan) menunjukkan bahwa proses belajar
membutuhkan latihan yang berulang-ulang untuk menjamin kelestarian kinerja
akademik yang telah dicapai.
Demikianlah beberapa
pendapat ahli tentang pengertian belajar. Dari uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa belajar adalah suatu proses atau tahapan perubahan seluruh tingkah laku
individu (siswa) yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi
dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif. Perubahan tingkah laku yang
diakibatkan oleh proses kematangan fisik, keadaan gila, mabuk, lelah, dan jenuh
tidak dapat dikategorikan dalam proses belajar.
[1]JS. Badudu dan Sutan
Muhammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet. IV, (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 2001), hal. 583.
[2]Depdiknas, Pengembangan
Perangkat Penilaian Afektif,
(Jakarta : Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pembinaan
Sekolah Menengah Atas, 2008), hal. 4.
[3]Muhibbin Syah, Psikologi
Pendidikan Dengan Pendekatan Baru, Edisi Revisi, (Jakarta : Remaja
Rosdakarya, 2003), hal. 136.
[4]Tohirin, Psikologi
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (Berbasis Integrasi dan Kompetensi), Edisi Revisi, (Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 2005), hal. 131.
[5]Slameto, Belajar dan
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya, Edisi
Revisi, Cet. IV, (Jakarta : Rineka Cipta, 2003), hal. 57.
[6]C. Asri Budiningsih, Belajar dan
Pembelajaran, Cet. I, (Jakarta : Rineka Cipta, 2005), hal. 20.
[7]Syamsu Yusuf, dkk., Dasar-Dasar
Pembinaan Kemampuan Proses Belajar Mengajar, Cet. I, (Bandung :
Andira,1993), hal. 4.
[8]Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar,
Cet. III, (Jakarta : Bumi Aksara, 2004), hal. 28.
[9]Muhibbin Syah, Psikologi ..., hal.
91.