Prinsip Penerapan PAKEM pada Pembelajaran Pendidikan Agama
Dalam pembelajaran PAKEM peran serta guru dalam menerapkan pola
belajar aktif siswa mutlak diperlukan, karena dengan pola tersebut akan
menjadikan proses belajar mengajar menjadi lancar serta pencapaian tujuan pembelajaran
akan mudah terealisasi. Pola belajar siswa adalah teknik pembelajaran yang
diterapkan yang menjadikan siswa agar mampu menerima materi pelajaran
sebagaimana yang diberikan. Pola belajar siswa aktif menitik beratkan pada
kompetensi siswa serta pengalaman siswa dalam belajar.
Di samping itu juga pendekatan yang diterapkan guru dalam proses
pembelajaran mencerminkan tingkat kompetensi guru dalam pembelajaran.
Pendekatan yang diterapkan dalam pembelajaran memberikan gambaran kepada orang
lain tentang kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran serta kemampuan dalam
melakukan solusi dan teknik pembelajaran. Pendekatan yang diterapkan dalam
pembelajaran sangat bervariasi, baik itu pendekatan emosional, pendekatan
individual dan lain sebagainya.
Jadi pendekatan dalam pembelajaran merupakan salah satu usaha guru
untuk menghilangkan dampak negatif terhadap penerapan PAKEM, sehingga
benar-benar membawa siswa pada dunia belajar.
Belajar merupakan keharusan bagi siapapun, selama manusia itu masih
hidup pasti membutuhkan belajar, karena belajar orang tidak tahu berubah
menjadi tahu, orang yang tidak mengerti menjadi mengerti. Oleh karena itu
pengertian belajar adalah “membangun makna, pengertian, pemahaman terhadap
pengalaman, informasi oleh si pembelajar yang disaring melalui persepsi,
pikiran dan perasaan, serta diberi kesempatan untuk didorong mengeluarkan
ungkap pikiran, ungkap pendapat.”[1]
Jadi belajar adalah memproduksi gagasan bukan mengkonsumsi gagasan. Pembaharuan
dalam bidang pendidikan “harus dimulai dan ‘bagaimana anak belajar’ dan’
bagaimana cara guru mengajar’ bukan dan ketentuan-ketentuan hasil.”[2]
Di Indonesia, kemampuan cara mengajar di depan kelas masih kurang dimiliki
guru-guru, padahal materi pelajaran dalam kunikulum yang dipelajani itu
dimana-mana sama.. Oleh karena itu ciptakan suasana yang menyenangkan.
Sekarang timbul pertanyaan bagaimana menjadikan belajar itu
menyenangkan?, dan siapa yang menjadi stakeholder dalam proses pembelajaran
yang menyenangkan itu? Jawabannya adalah siswa. Siswa harus menjadi arsitek
dalam proses belajar mereka sendiri. Kita semua
setuju bahwa pembelajaran yang menyenangkan merupakan dambaan dan setiap
peserta didik. Karena proses belajar yang menyenangkan bisa meningkatkan
motivasi belajar yang tinggi bagi siswa guna menghasilkan produk belajar yang
berkualitas. Untuk mencapai keberhasilan proses belajar, faktor motivasi merupakan
kunci utama. Seorang guru harus mengetahui secara pasti mengapa seorang siswa
memiliki berbagai macam motif dalam belajar.
Ada empat katagori yang perlu diketahui oleh seorang guru yang baik
terkait dengan motivasi “mengapa siswa belajar”, yaitu:
- Motivasi intrinsik (siswa belajar karena tertarik dengan tugas-tugas yang diberikan).
- Motivasi instrumental (siswa belajar karena akan menerima konsekuensi: reward atau punishment).
- Motivasi sosial (siswa belajar karena ide dan gagasannya ingin dihargai), dan
- Motivasi prestasi (siswa belajar karena ingin menunjukkan kepada orang lain bahwa dia mampu melakukan tugas yang diberikan oleh gurunya).[3]
Dalam paradigma baru pendidikan, tujuan pembelajaran bukan hanya
untuk merubah perilaku siswa, tetapi membentuk karakter dan sikap mental
profesional yang berorientasi pada global mindset. Fokus
pembelajarannya adalah pada ‘mempelajari cara belajar’ (learning how to
learn) dan bukan hanya semata pada mempelajari substansi mata pelajaran.
Sedangkan pendekatan, strategi dan metode pembelajarannya adalah “mengacu pada
konsep konstruktivisme yang mendorong dan menghargai usaha belajar siswa dengan
proses enquiry & discovery learning.”[4]
Dengan pembelajaran konstruktivisme memungkinkan terjadinya
pembelajaran berbasis masalah. Siswa sebagai stakeholder terlibat langsung
dengan masalah, dan tertantang untuk belajar menyelesaikan berbagai masalah
yang relevan dengan kehidupan mereka. Dengan skenario pembelajaran berbasis
masalah ini siswa akan berusaha memberdayakan seluruh potensi akademik dan
strategi yang mereka miliki untuk menyelesaikan masalah secara individu/
kelompok. Prinsip pembelajaran konstruktivisme yang berorientasi pada masalah
dan tantangan akan menghasilkan sikap mental profesional, yang disebut research mindedness dalam pola pikir siswa, sehingga kegiatan pembelajaran selalu
menantang dan menyenangkan.
PAKEM yang merupakan sebuah model pembelajaran kontekstual yang
melibatkan paling sedikit empat prinsip utama dalam proses
pembelajarannya. Pertama, proses interaksi
(siswa berinteraksi secara aktif dengan guru, rekan siswa, multi-media,
referensi, lingkungan dan sebagainya).
Kedua, proses komunikasi (siswa mengkomunikasikan pengalaman belajar
mereka dengan guru dan rekan siswa lain melalui cerita, dialog atau melalui
simulasi role-play). Ketiga,
proses refleksi, (siswa memikirkan kembali tentang kebermaknaan apa yang mereka
telah pelajari, dan apa yang mereka telah lakukan). Keempat, proses eksplorasi (siswa mengalami
langsung dengan melibatkan semua indera mereka melalui pengamatan, percobaan,
penyelidikan dan/atau wawancara).
Pelaksanaan PAKEM harus memperhatikan bakat, minat dan modalitas
belajar siswa, dan bukan semata potensi akademiknya. Dalam pendekatan pembelajaran Quantum (Quantum
Learning) ada tiga macam modalitas siswa, yaitu ‘modalitas visual,
auditorial dan kinestetik.”[5]
Dengan modalitas visual dimaksudkan bahwa kekuatan belajar siswa terletak pada indera
‘mata’ (membaca teks, grafik atau dengan melihat suatu peristiwa), kekuatan
auditorial terletak pada indera’pendengaran’ (mendengar dan menyimak penjelasan
atau cerita), dan kekuatan kinestetik terletak pada ‘perabaan’ (seperti
menunjuk, menyentuh atau
melakukan).
Jadi, dengan memahami kecenderungan potensi modalitas siswa tersebut, maka
seorang guru harus mampu merancang media, metode/atau materi pembelajaran
kontekstual yang relevan dengan kecenderungan potensi atau modalitas belajar
siswa.
Dalam pelaksanaan konsep PAKEM, penilaian dimaksudkan untuk mengukur
tingkat keberhasilan siswa, baik itu keberhasilan dalam proses maupun
keberhasilan dalam lulusan (output). Keberhasilan proses dimaksudkan bahwa
siswa berpartisipasi aktif, kreatif dan senang selama mengikuti kegiatan
pembelajaran. Sedangkan keberhasilan lulusan (output) adalah siswa mampu menguasai
sejumlah kompetensi dan standar kompetensi dan setiap
Mata pelajaran yang ditetapkan dalam sebuah kunikulum inilah yang
disebut efektif dan menyenangkan. Jadi, penilaian harus dilakukan dan diakui
secara komulatif. Penilaian harus mencakup paling sedikit tiga aspek: pengetahuan,
sikap dan keterampilan. Ini tentu saja melibatkan professional judgment dengan memperhatikan sifat
obyektivitas dan keadilan. Untuk ini, pendekatan Penilaian Acuan Norma (PAN) dan
Penilaian Acuan Patokan (PAP) merupakan pendekatan penilaian altematif yang
paling representatif untuk menentukan keberhasilan pembelajaran model PAKEM.
Evaluasi artinya penilaian terhadap tingkat keberhasilan siswa
mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam sebuah program. Padanan kata
evaluasi adalah assessment yang berarti “proses penilaian untuk menggambarkan
prestasi yang dicapai seorang siswa
sesuai dengan criteria yang telah ditetapkan.”[6]
Selain kata evaluasi dan assessment ada pula kata lain yang searti dan relatif
lebih dikenal dalam dunia pendidikan kita yakni tes, ujian, dan ulangan.
Namun kebanyakan pelaksanaan evaluasi cenderung
bersifat kuntitatif, lantaran penggunaan symbol angka atau skor untuk
menentukan kualitas keseluruhan kinerja akademik siswa dianggap sangat nisbi. Walaupun
begitu,guru yang piawai dan propesional perlu berusaha mencari kiat evaluasi
yang lugas, tuntas, dan meliputi seluruh kemampuan ranah cipta, rasa, dan karsa
siswa guna mengurangi kenisbian hasilnya.
Untuk dapat menentukan tercapai tidaknya tujuan pendidikan dan pengajaran
perlu dilakukan usaha dan tindakan atau kegiatan untuk menilai hasil belajar.
Penilaian hasil belajar bertujuan untuk melihat kemajuan belajar peserta didik
dalam hal penguasaan materi pengajaran yang telah dipelajari dengan tujuan yang
telah ditetapkan. Berdasarkan gambaran di atas dapat disimpulkan bahwa prinsip
dalam penerapan PAKEM dalam próses belajar mengajar antara lain:
- Siswa mengerjakan kegiatan beragam untuk mengembangkan ketrampilan dan pemahaman, dengan penekanan pada learning by doing.
- Guru menggunakan berbagai sumber belajar dan alat bantu, termasuk pemanfaatan lingkungan.
- Menata kelas menjadi lebih inspiratif, dengan memajang karya siswa, buku dan bahan yang menarik, serta membuat sudut baca.
- Memakai cara pembelajaran yang bersifat kerja sama dan interaktif melalul kerja kelompok.
- Guru membantu siswa memecahkan masalah sendiri, mengunkap pemikirannya sendiri dan melibatkan mereka secara aktifpartisipatif.[7]
Di samping itu
juga secara khusus prinsip penerapan PAKEM dalam pembelajaran dapat dincikan
sebagai berikut:
- Mengalami: peserta didik terlibat secara aktif baik fisik, mental maupun emosional.
- Komunikasi: kegiatan pembelajaran memungkinkan terjadinya komunikasi antara guru dan peserta didik.
- Interaksi: kegiatan pembelajarannya memungkinkan terjadinya interaksi multi arah.
- Refkesi: kegiatan pembelajarannya memungkinkan peserta didik memikirkan kembali apa yang telah dilakukan.[8]
Berdasarkan prinsip penerapan PAKEM dalam pembelajaran PAI di atas, maka
dapat dikatakan bahwa dalam penerapan prinsip tersebut harus mengedepankan
keaktifan pembelajaran itu sendiri. Di samping itu juga dalam penerapan
evaluasi tetap mengedepankan objektifitas serta validitas pelaksanaannya.
Selain itu, berdasarkan Undang-Undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003
Pasal 58 (1) mengatakan bahwa “evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan
untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik,
secara kesinambungan.”[9]
Dengan demikian, maka evaluasi belajar harus dilakukan guru secara kontinyu, bukan hanya
pada musim-musim ulangan terjadwal atau ujian semata. Di samping memiliki
tujuan tersebut di atas maka evaluasi juga mempunyai fungsi-fungsi. Adapun
fungsi evaluasi belajar merupakan suatu upaya yang perlu ditumbuh kembangkan sebagaimana
tersebut
di bawah mi,
antara lain:
a.
Fungsi administratif untuk
penyusunan dafiar nilai dan pengisian buku rapor.
b.
Fungsi promosi untuk menetapkan
kenaikan atau kelulusan.
c.
Fungsi diagnostic untuk
mengidentifikasi kesulitan belajar siswa dan merencanakan program remedial
teaching (pengajaran perbaikan).
d.
Sebagai sumber data BP yang
dapat memasok data siswa tertentu yang memerlukan bimbingan clan penyuluhan
(BP).
e.
Sebagai bahan pertimbangan
pengembangan pada masa yang akan datang yang meliputi pengembangan kurikulum,
metode dan alat-alat untuk proses PMB.[10]
Selanjutnya, selain memiliki fungsi sebagai
diatas, evaluasi juga mengandung fungsi psikologis yang cukup signifikan bagi
siswa maupun bagi guru dan orangtuanya. Bagi siswa,
penilaian guru merupakan alat bantu untuk mengatasi kekurangan dirinya sendiri.
Dengan mengetahui taraf kemampuan dan kemajuan dirinya sendiri, siswa memiliki self-consciousness,
kesadaran yang lugas mengenai eksistensi dirinya, dan juga metacognitive,
pengetahuan yang benar mengenai batas kemampuan akalnya sendiri.[11]
Untuk itu, siswa diharapkan menentukan posisi secara tepat di antara
teman-teman dan masyarakatnya sendiri.
[1] S.Nasution, Berbagai
Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), hal
46
[2] Team FKIP Universitas Syiah Kuala, Modul
Pengembangan Profesionalisme Guru, (Banda Aceh: Pendidikan dan Latihan Profesi
Guru. 2009), hal. 8
[3] Muhammad Ilyas, Membuat Anak Belajar
Kreatf di Lingkungan Sekolah, Diktat, Disampaikan pada Pelatihan Guru Agama
Tingkat Dasar path Tanggal 01 Juli sampai dengan 12 Juli 2009 di SMA Fajar
Hidayah Aceh Besar
[4] B Suryosubroto, Proses Belajar Mengajar
Disekolah, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2002), hal 101
[5] Departemen Agama RI, Kurikulum 2004 Standar kompetensi Madrasah
Tsanawiyah, (Jakarta:
Dirjen Kelembagaan agama Islam, 2005), hal.8
[6] B.
Simanjuntak, Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Tarsito, 1981), hal. 45
[7] J.E. Paimin, AgarAnak Pintar Pelajaran..., hal. 7
[8] Ibid, hal.10
[9] Depdikbud, Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: Depdikbud, 2003),
hal. 8
[10] Sumadi Suryasubrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta:
Rajawali Press. 1990), hal. 75
[11] lbid,hal. 39