Peran Guru Terhadap Motivasi Belajar Siswa
Setiap siswa mempunyai latar
belakang dan pengalaman yang berbeda seperti latar belakang keluarga, sosial
kultural, ekonomi, bakat, minat dan kemampuan. Dalam proses mengajar pada
umumnya guru menggunakan pendekatan yang sama, hal ini dapat mengakibatkan
siswa akan mengalami kesulitan dalam belajar karena keunikan siswa tersebut
kurang mendapat pelayanan, sehingga siswa akan memungkinan dalam mengikuti
pembelajaran merasa akan kurang puas.
Oleh karena itu dalam proses
pembelajaran sangat dibutuhkan sosok guru yang mampu membangkitkan motivasi
belajar siswa. Guru merupakan salah satu komponen yang memegang peranan penting
dalam mencapai hasil dan minat belajar siswa terhadap suatu pelajaran, bahkan
guru sering dikatakan orang yang menentukan keberhasilan dan penyemangat siswa
dalam segala hal terutama dalam belajar. Oleh karena itu guru harus mempunyai
dan memegang peran dalam dunia pendidikan.
Adapun secara umum peran guru
dalam proses pembelajaran adalah sebagai demonstrator, pengelola kelas,
mediator dan fasilitator, serta sebagai evaluator.
1.
Guru sebagai demonstrator
Peran guru sebagai
demonstrator menuntutnya untuk menguasai dan memahami materi pelajaran yang
diasuhnya secara detail. Tidak mungkin seorang guru mampu menjadi demonstrator
yang baik jika didemonstrasikannya tidak dikuasai. Berkaitan dengan hal ini M.
Uzer Usman menerangkan bahwa “melalui peranannya sebagai demonstrator, lecturer,
atau pengajar, guru hendaknya senantiasa menguasai bahan atau materi pelajaran
yang akan diajarkannya.”[1]
Dari kutipan diatas dapat
disimpulkan bahwa agar guru dapat menjalankan perannya sebagai demonstator maka
ia harus memahami seluk beluk materi pelajaran secara detil. Tanpa pemahaman
yang mendalam tentang matei pelajaran yang diajarkan, maka guru akan mengalami
kesulitan dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Apabila siswa bukanlah objek, namun juga
sebagai subjek yang sedang menggali pengetahuan.
2.
Guru sebagai pengelola kelas
Menurut Hadari Nawawi
sebagaimana dikutip Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain mendefinisikan
pengelolaan kelas sebagai “kemampuan guru dalam mendayagunakan potensi kelas
berupa pemberian kesempatan yang seluas-luasnya pada setiap personal untuk
melakukan kegiatan-kegiatan secara kreatif dan terarah.”[2]
Dari kutipan di atas dapat
disimpulkan bahwa dalam hubungannya dengan peran guru pada proses belajar
mengajar, pengelolaan kelas merupakan upaya pendayagunaan potensi kelas agar
setiap siswa mendapatkan kesempatan untuk berkiprah. Hal ini tentunya dilakukan oleh guru dengan
mengeliminasi dominasi siswa-siswa tertentu dan memberikan kesempatan yang sama
kepada setiap siswa.
3.
Guru sebagai mediator dan fasilitator
Peran guru sebagai mediator
dan fasilitator adalah peran guru sebagai orang yang menjembatani siswa dengan
materi pelajaran yang dipelajari. Agar siswa aktif dalam pembelajaran guru
tidak hanya berperan sebagai penyampain informasi. Dalam menjalankan fungsinya sebagai mediator dan
fasilitator, menurut E. Mulyasa guru “harus dapat menciptakan situasi sehingga
materi pembelajaran selalu tampak menarik, dan tidak membosankan”.[3]
Dari kutipan diatas dapat
disimpulkan bahwa dalam menjalankan perannya sebagai mediator dan fasilitator,
guru harus mampu menciptakan situasi sehingga materi pembelajaran selalu tampak
menarik, dan tidak membosankan. Dengan kata lain guru harus dapat memotivasi
siswa dengan cara mengemas materi pembelajaran sehingga membangkitkan minat,
motivasi, gairah, dan nafsu belajar.
Agar dapat melakukan hal ini
tentunya guru harus menguasai dan memahami teknik-teknik yang dapat membuat
siswa turut serta secara aktif dalam proses belajar mengajar.
4.
Guru sebagai Evaluator
Evaluasi memegang peranan
penting dalam pembelajaran. Melalui proses evaluasilah seorang siswa dapat
diketahui penguasaan dan pemahamannya terhadap materi suatu mata pelajaran.
Melalui evaluasi juga seorang guru dapat mengetahui sejauh mana keberhasilan ia
mengajar. Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui agar bisa memastikan
bahwa siswa mengalami proses belajar mengajar dengan benar. Apabila data yang
dikumpulkan guru mengidentifikasikan bahwa siswa mengalami kemacetan dalam
belajar, maka guru dapat mengambil tindakan yang tepat agar siswa terbebas dari
kemacetan belajar.
Penilaian sangat penting
perannya dalam suatu proses belajar mengajar.
Oleh sebab itu guru hendaknya mengikuti kaedah-kaedah yang tepat
sehingga guru sebagai evaluator dapat melaksanakan evaluasi secara autentik. Dalam
melaksanakan penilaian yang autentik (authentic assessmen) guru harus
melakukan evaluasi “secara berkesinambungan, yaitu proses dan produk, dengan
tidak hanya menggunakan tes tetapi juga non tes”.[4] Proses penilaian yang dilakukan kontinu
meliputi proses dan produk akan memberikan gambaran yang tepat tentang proses
belajar mengajar yang dilaksanakan. Untuk itu alat-alat evaluasi yang digunakan
tidak boleh hanya tes tetapi juga non tes. Penilaian berkesinambungan ini
tentunya menuntut guru untuk melakukan penilaian berbasis kelas, yang hanya
dapat dilakukan oleh guru yang bersangkutan.
Upaya memahami kedudukan guru
dalam proses belajar mengajar dapat dilakukan melalui penelaahan arti dan
definisi proses belajar itu sendiri. Dalam hal ini telah banyak pengertian
tentang proses belajar mengajar diberikan oleh para ahli. Misalnya Margaret E
Bell Blieder seperti dikutip oleh Abdul Rachman Shaleh memberikan definisi
belajar mengajar sebagai “acara dari peristiwa eksternal memberikan definisi
proses belajar mengajar sebagai “acara dari peristiwa eksternal yang dirancang
oleh guru guna mendukung terjadinya kegiatan belajar yang dilakukan siswa.”[5] Pendapat ini setidaknya menggambarkan
bahwa kedudukan guru dalam proses belajar mengajar adalah sebagai perancang
supaya kegiatan belajar yang akan dilakukan siswa dapat terjadi.
Mulyani Sumantri dan Johar
Permana memberikan pengertian proses belajar mengajar sebagai “interaksi yang
dilakukan antara guru dengan peserta didik dalam suatu situasi pendidikan atau
pengajaran antara guru dengan peserta didik dalam suatu situasi pendidikan atau
pengajaran untuk mewujudkan tujuan yang ditetapjan.”[6] Definisi ini mengisyaratkan bahwa proses
belajar mengajar adalah suatu proses interaksi/ suatu proses komunikasi antara
guru dan siswa yang bersifat timbal balik. Mencermati definisi ini kita mesti
menyadari bahwa proses belajar mengajar ibarat bertepuk tangan. Untuk dapat
bertepuk sempurna, maka kedua tangan harus ada dan berfungsi. Demikian halnya,
demi terlaksananya proses belajar mengajar maka unsur guru dan siswa, kedua-duanya
harus ada. Ini menandakan bahwa
kedudukan guru dalam proses belajar mengajar memang sangat sentral dan urgen.
Definisi lain tentang proses
belajar mengajar diberikan oleh Moh. Uzer Usman, ia menyatakan bahwa proses
belajar mengajar adalah “suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan
guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik dan berlangsung dalam situasi
edukatif untuk mencapai tujuan tertentu.”[7]
Dari definisi-definisi tentang
proses belajar mengajar dapat diperhatikan bahwa kata-kata “guru” selalu harus
disebutkan demi tepatnya definisi yang diberikan. Ini menandakan bahwa kedudukan guru dalam
proses belajar mengajar sangat penting. Adaikata guru tidak penting, maka dapat
saja ia tinggalkan manakala para pakar pendidikan mendefinisikan proses belajar
mengajar. Ketidak tertinggalan kata guru
ini oleh para ahli dalam mendefinisikan proses belajar mengajar menunjukkan
pengakuan spontan bahwa guru adalah salah satu unsur integral dari proses
belajar mengajar yang tak mungkin ditinggalkan. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa guru menempati kedudukan yang sangat penting dalam proses
belajar mengajar.
Tentang pentingnya kedudukan
guru dalam proses belajar mengajar juga dapat diperhatikan dari pernyataan FA.
Agus Wahyudi berikut :
Banyak faktor yang secara langsung menentukan
kesuksesan belajar dan keberhasilan dalam pendidikan dari sekian banyak
faktor-faktor tersebut banyak orang yang sependapat bahwa yang paling
menentukan adalah guru.Ronald Brand menyebutkan bahwa hampir semua usaha reformasi
pendidikan akhirnya akan tergantung pada guru, upaya peningkatan mutu
pendidikan akan sia-sia bila guru tidak ikut serta dalam upaya tersebut.[8]
Pendapat tersebut secara jelas
telah mengakui bahwa keberadaan guru dalam dunia pendidikan secara umum dan
dalam proses belajar mengajar secara khusus amatlah penting. Bahkan usaha
meningkatkan mutu pendidikan akan sangat bergantung pada guru. Ini wajar karena guru adalah “penyangga utama
sistem pendidikan. Setiap harinya guru hadir di kelas dengan 40 – 48 siswa, dan
berusaha untuk mentransformasikan pengetahuan dan ketrampilan kepada mereka”.[9] Hal ini menandakan bahwa kedudukan dalam
proses belajar mengajar sangatlah strategis dan penting. Ia dapat diumpamakan
sebagai lokomotif yang menggerakkan gerbong-gebong proses belajar mengajar demi
mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Dalam menjalankan tugasnya
sebagai guru, seseorang setidaknya diembankan tiga tugas utama, yakni sebagai
pengajar (bersifat kognitif), pendidik (bersifat afektif), dan pelatih
(bersifat psikomotorik). Hal ini
disebabkan :
Tujuan pendidikan di sekolah mencakup tiga aspek
yaitu asprk kognitif, afektif dan psikomotor.
Aspek kognitif memberikan ilmu pengetahuan dengan kata lain pengisian
otak anak, aspek afektif adalah mempengaruhi anak didik agar menjadi manusia
susila, kepribadian yang utuh. Sedangkan
aspek psikomotor adalah bertanggung jawab dalam terampil dalam berbuat.”[10]
Berdasarkan pendapat tersebut
dapat dipahami bahwa kedudukan guru dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu sebagai
pengajar, pendidik dan pelatih.
a.
Sebagai Pengajar
Kedudukan guru sebagai
pengajar berkaitan dengan transfer of knowledge, yakni mentransfer ilmu
pengetahuan. Dalam kedudukan sebagai pengajar, guru memainkan peranannya
sebagai “designer of instruction (perancang pembelajaran), manager of
instruction (pengelola pembelajaran), dan evaluator of student learning
(penilaian belajar siswa).”[11]
Sebagai designer of
instruction guru harus mampu dan siap merangcang suatu skenario
pembelajaran yang berhasil gunda dan berdaya guna. Peran guru sebagai manager of instruction
menuntutnya untuk mampu mengelola (menyelenggarakan dan mengendalikan) seluruh
tahapan proses pembelajaran seefektif dan seefisien mungkin. Adapun sebagai evaluator
of student learning ia dituntut untuk selalu mengikuti perkembangan taraf
kemajuan prestasi belajar atau kinerja akademik siswa setiap kurun waktu
pembelajaran. Hal ini menuntut pelaksanaan evaluasi yang berkesinambungan
sehingga hasil evaluasi tersebut benar-benar daat dijadikan rujukan tentang kemajuan
siswa dalam belajar. Dengan melakukan
tiga peranan ini dengan baik guru telah menjalankan kedudukannya sebagai
pengajar, dalam pengertian hanya menstransfer pengetahuan.
b.
Sebagai Pendidik
Tugas seorang guru tidak hanya
sebatas pada mentransfer pengetahuan semata, namun juga melakukan transfer
of value. Ini mengharuskan seorang
guru juga harus membina sikap dan akhlak siswa. Ada banyak cara guru dapat
melakukan transfer nilai, salah satunya adalah dengan memberikan contoh teladan
yang baik (uswatun hasanah), yaitu dengan menampakkan kepada siswa
akhlak yang baik dengan cara mempraktekkan sendiri.
c.
Sebagai Pelatih
Sebagai pelatih guru
bertanggung jawab dalam memberikan ketrampilan kepada siswa. Dengan ketrampilan
inilah guru menempuh hidup dan kehidupannya di muka bumi ini. Jika kita menelusuri lebih jauh, adanya
tuntutan kepada guru untuk membekali siswa dengan ketrampilan sangat sesuai
dengan kurikulum yang diberlakukan sekarang.
Pekerjaan membekali siswa
dengan ketrampilan sama halnya dengan membekali siswa dengan kompetensi. Melalui proses membekali siswa dengan
kompetensi inilah akan terbentuk lifeskill (kecakapan hidup) yang akan
berperan dalam siswa menjalankan kiprahnya sebagai khalifah di muka bumi.
[1] Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, Cet. XVII (Bandung:
Remaja Rosda Karya, 2005), hal. 9
[2] Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar,
Cet. II, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hal. 198
[3] E. Mulyasa, Implementasi…., hal. 122
[4] Nurhadi, dkk., Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya Dalam KBK,
(Malang: Universitas Negeri Malang, 2004), hal. 53
[5] Abdul Rachman Shaleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa : Visi,
Misi dan Aksi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 11
[6] Mulyadi Sumantri dan Johar Permana, Strategi Belajar Mengajar,
(Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi, 1999), hal. 134
[7] Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru …, hal. 4
[8] FA. Agus Wahyudi, “Guru Profesional Kunci Sukses, KBK.” Dalam
Gerbang edisi 5 Tahun III, November 200, hal. 42
[9] Arief Rachman, dkk, Panduan Pelatihan Untuk Pengembangan Sekolah,
(Jakarta: Depdiknas), Dirjen Dikdasmen, 2000), hal. 41
[10] Madyo Ekosuliso dan R.B. Kasihadi, Dasar-Dasar Pendidikan,
(Semarang: Publishing, 1988), hal. 69
[11] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru,
Cet. VIII, Edisi Revisi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), hal. 250