08 June 2015

Peran Guru Terhadap Motivasi Belajar Siswa


Peran Guru Terhadap Motivasi Belajar Siswa
Setiap siswa mempunyai latar belakang dan pengalaman yang berbeda seperti latar belakang keluarga, sosial kultural, ekonomi, bakat, minat dan kemampuan. Dalam proses mengajar pada umumnya guru menggunakan pendekatan yang sama, hal ini dapat mengakibatkan siswa akan mengalami kesulitan dalam belajar karena keunikan siswa tersebut kurang mendapat pelayanan, sehingga siswa akan memungkinan dalam mengikuti pembelajaran merasa akan kurang puas.

Oleh karena itu dalam proses pembelajaran sangat dibutuhkan sosok guru yang mampu membangkitkan motivasi belajar siswa. Guru merupakan salah satu komponen yang memegang peranan penting dalam mencapai hasil dan minat belajar siswa terhadap suatu pelajaran, bahkan guru sering dikatakan orang yang menentukan keberhasilan dan penyemangat siswa dalam segala hal terutama dalam belajar. Oleh karena itu guru harus mempunyai dan memegang peran dalam dunia pendidikan.
Adapun secara umum peran guru dalam proses pembelajaran adalah sebagai demonstrator, pengelola kelas, mediator dan fasilitator, serta sebagai evaluator.
1.         Guru sebagai demonstrator
Peran guru sebagai demonstrator menuntutnya untuk menguasai dan memahami materi pelajaran yang diasuhnya secara detail. Tidak mungkin seorang guru mampu menjadi demonstrator yang baik jika didemonstrasikannya tidak dikuasai. Berkaitan dengan hal ini M. Uzer Usman menerangkan bahwa “melalui peranannya sebagai demonstrator, lecturer, atau pengajar, guru hendaknya senantiasa menguasai bahan atau materi pelajaran yang akan diajarkannya.”[1]
Dari kutipan diatas dapat disimpulkan bahwa agar guru dapat menjalankan perannya sebagai demonstator maka ia harus memahami seluk beluk materi pelajaran secara detil. Tanpa pemahaman yang mendalam tentang matei pelajaran yang diajarkan, maka guru akan mengalami kesulitan dalam melaksanakan proses belajar mengajar.  Apabila siswa bukanlah objek, namun juga sebagai subjek yang sedang menggali pengetahuan.
2.      Guru sebagai pengelola kelas
Menurut Hadari Nawawi sebagaimana dikutip Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain mendefinisikan pengelolaan kelas sebagai “kemampuan guru dalam mendayagunakan potensi kelas berupa pemberian kesempatan yang seluas-luasnya pada setiap personal untuk melakukan kegiatan-kegiatan secara kreatif dan terarah.”[2]
Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam hubungannya dengan peran guru pada proses belajar mengajar, pengelolaan kelas merupakan upaya pendayagunaan potensi kelas agar setiap siswa mendapatkan kesempatan untuk berkiprah.  Hal ini tentunya dilakukan oleh guru dengan mengeliminasi dominasi siswa-siswa tertentu dan memberikan kesempatan yang sama kepada setiap siswa.
3.      Guru sebagai mediator dan fasilitator
Peran guru sebagai mediator dan fasilitator adalah peran guru sebagai orang yang menjembatani siswa dengan materi pelajaran yang dipelajari. Agar siswa aktif dalam pembelajaran guru tidak hanya berperan sebagai penyampain informasi. Dalam menjalankan fungsinya sebagai mediator dan fasilitator, menurut E. Mulyasa guru “harus dapat menciptakan situasi sehingga materi pembelajaran selalu tampak menarik, dan tidak membosankan”.[3]
Dari kutipan diatas dapat disimpulkan bahwa dalam menjalankan perannya sebagai mediator dan fasilitator, guru harus mampu menciptakan situasi sehingga materi pembelajaran selalu tampak menarik, dan tidak membosankan. Dengan kata lain guru harus dapat memotivasi siswa dengan cara mengemas materi pembelajaran sehingga membangkitkan minat, motivasi, gairah, dan nafsu belajar.
Agar dapat melakukan hal ini tentunya guru harus menguasai dan memahami teknik-teknik yang dapat membuat siswa turut serta secara aktif dalam proses belajar mengajar.
4.      Guru sebagai Evaluator
Evaluasi memegang peranan penting dalam pembelajaran. Melalui proses evaluasilah seorang siswa dapat diketahui penguasaan dan pemahamannya terhadap materi suatu mata pelajaran. Melalui evaluasi juga seorang guru dapat mengetahui sejauh mana keberhasilan ia mengajar. Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami proses belajar mengajar dengan benar. Apabila data yang dikumpulkan guru mengidentifikasikan bahwa siswa mengalami kemacetan dalam belajar, maka guru dapat mengambil tindakan yang tepat agar siswa terbebas dari kemacetan belajar.
Penilaian sangat penting perannya dalam suatu proses belajar mengajar.  Oleh sebab itu guru hendaknya mengikuti kaedah-kaedah yang tepat sehingga guru sebagai evaluator dapat melaksanakan evaluasi secara autentik. Dalam melaksanakan penilaian yang autentik (authentic assessmen) guru harus melakukan evaluasi “secara berkesinambungan, yaitu proses dan produk, dengan tidak hanya menggunakan tes tetapi juga non tes”.[4] Proses penilaian yang dilakukan kontinu meliputi proses dan produk akan memberikan gambaran yang tepat tentang proses belajar mengajar yang dilaksanakan. Untuk itu alat-alat evaluasi yang digunakan tidak boleh hanya tes tetapi juga non tes. Penilaian berkesinambungan ini tentunya menuntut guru untuk melakukan penilaian berbasis kelas, yang hanya dapat dilakukan oleh guru yang bersangkutan.
Upaya memahami kedudukan guru dalam proses belajar mengajar dapat dilakukan melalui penelaahan arti dan definisi proses belajar itu sendiri. Dalam hal ini telah banyak pengertian tentang proses belajar mengajar diberikan oleh para ahli. Misalnya Margaret E Bell Blieder seperti dikutip oleh Abdul Rachman Shaleh memberikan definisi belajar mengajar sebagai “acara dari peristiwa eksternal memberikan definisi proses belajar mengajar sebagai “acara dari peristiwa eksternal yang dirancang oleh guru guna mendukung terjadinya kegiatan belajar yang dilakukan siswa.”[5] Pendapat ini setidaknya menggambarkan bahwa kedudukan guru dalam proses belajar mengajar adalah sebagai perancang supaya kegiatan belajar yang akan dilakukan siswa dapat terjadi.
Mulyani Sumantri dan Johar Permana memberikan pengertian proses belajar mengajar sebagai “interaksi yang dilakukan antara guru dengan peserta didik dalam suatu situasi pendidikan atau pengajaran antara guru dengan peserta didik dalam suatu situasi pendidikan atau pengajaran untuk mewujudkan tujuan yang ditetapjan.”[6] Definisi ini mengisyaratkan bahwa proses belajar mengajar adalah suatu proses interaksi/ suatu proses komunikasi antara guru dan siswa yang bersifat timbal balik. Mencermati definisi ini kita mesti menyadari bahwa proses belajar mengajar ibarat bertepuk tangan. Untuk dapat bertepuk sempurna, maka kedua tangan harus ada dan berfungsi. Demikian halnya, demi terlaksananya proses belajar mengajar maka unsur guru dan siswa, kedua-duanya harus ada.  Ini menandakan bahwa kedudukan guru dalam proses belajar mengajar memang sangat sentral dan urgen.
Definisi lain tentang proses belajar mengajar diberikan oleh Moh. Uzer Usman, ia menyatakan bahwa proses belajar mengajar adalah “suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik dan berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu.”[7]
Dari definisi-definisi tentang proses belajar mengajar dapat diperhatikan bahwa kata-kata “guru” selalu harus disebutkan demi tepatnya definisi yang diberikan.  Ini menandakan bahwa kedudukan guru dalam proses belajar mengajar sangat penting. Adaikata guru tidak penting, maka dapat saja ia tinggalkan manakala para pakar pendidikan mendefinisikan proses belajar mengajar.  Ketidak tertinggalan kata guru ini oleh para ahli dalam mendefinisikan proses belajar mengajar menunjukkan pengakuan spontan bahwa guru adalah salah satu unsur integral dari proses belajar mengajar yang tak mungkin ditinggalkan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa guru menempati kedudukan yang sangat penting dalam proses belajar mengajar.
Tentang pentingnya kedudukan guru dalam proses belajar mengajar juga dapat diperhatikan dari pernyataan FA. Agus Wahyudi berikut :
Banyak faktor yang secara langsung menentukan kesuksesan belajar dan keberhasilan dalam pendidikan dari sekian banyak faktor-faktor tersebut banyak orang yang sependapat bahwa yang paling menentukan adalah guru.Ronald Brand menyebutkan bahwa hampir semua usaha reformasi pendidikan akhirnya akan tergantung pada guru, upaya peningkatan mutu pendidikan akan sia-sia bila guru tidak ikut serta dalam upaya tersebut.[8]

Pendapat tersebut secara jelas telah mengakui bahwa keberadaan guru dalam dunia pendidikan secara umum dan dalam proses belajar mengajar secara khusus amatlah penting. Bahkan usaha meningkatkan mutu pendidikan akan sangat bergantung pada guru.  Ini wajar karena guru adalah “penyangga utama sistem pendidikan. Setiap harinya guru hadir di kelas dengan 40 – 48 siswa, dan berusaha untuk mentransformasikan pengetahuan dan ketrampilan kepada mereka”.[9] Hal ini menandakan bahwa kedudukan dalam proses belajar mengajar sangatlah strategis dan penting. Ia dapat diumpamakan sebagai lokomotif yang menggerakkan gerbong-gebong proses belajar mengajar demi mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Dalam menjalankan tugasnya sebagai guru, seseorang setidaknya diembankan tiga tugas utama, yakni sebagai pengajar (bersifat kognitif), pendidik (bersifat afektif), dan pelatih (bersifat psikomotorik).  Hal ini disebabkan :
Tujuan pendidikan di sekolah mencakup tiga aspek yaitu asprk kognitif, afektif dan psikomotor.  Aspek kognitif memberikan ilmu pengetahuan dengan kata lain pengisian otak anak, aspek afektif adalah mempengaruhi anak didik agar menjadi manusia susila, kepribadian yang utuh.  Sedangkan aspek psikomotor adalah bertanggung jawab dalam terampil dalam berbuat.”[10]

Berdasarkan pendapat tersebut dapat dipahami bahwa kedudukan guru dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu sebagai pengajar, pendidik dan pelatih.
a.       Sebagai Pengajar
Kedudukan guru sebagai pengajar berkaitan dengan transfer of knowledge, yakni mentransfer ilmu pengetahuan. Dalam kedudukan sebagai pengajar, guru memainkan peranannya sebagai “designer of instruction (perancang pembelajaran), manager of instruction (pengelola pembelajaran), dan evaluator of student learning (penilaian belajar siswa).”[11]
Sebagai designer of instruction guru harus mampu dan siap merangcang suatu skenario pembelajaran yang berhasil gunda dan berdaya guna.  Peran guru sebagai manager of instruction menuntutnya untuk mampu mengelola (menyelenggarakan dan mengendalikan) seluruh tahapan proses pembelajaran seefektif dan seefisien mungkin. Adapun sebagai evaluator of student learning ia dituntut untuk selalu mengikuti perkembangan taraf kemajuan prestasi belajar atau kinerja akademik siswa setiap kurun waktu pembelajaran. Hal ini menuntut pelaksanaan evaluasi yang berkesinambungan sehingga hasil evaluasi tersebut benar-benar daat dijadikan rujukan tentang kemajuan siswa dalam belajar.  Dengan melakukan tiga peranan ini dengan baik guru telah menjalankan kedudukannya sebagai pengajar, dalam pengertian hanya menstransfer pengetahuan.


b.      Sebagai Pendidik
Tugas seorang guru tidak hanya sebatas pada mentransfer pengetahuan semata, namun juga melakukan transfer of value.  Ini mengharuskan seorang guru juga harus membina sikap dan akhlak siswa. Ada banyak cara guru dapat melakukan transfer nilai, salah satunya adalah dengan memberikan contoh teladan yang baik (uswatun hasanah), yaitu dengan menampakkan kepada siswa akhlak yang baik dengan cara mempraktekkan sendiri.
c.       Sebagai Pelatih
Sebagai pelatih guru bertanggung jawab dalam memberikan ketrampilan kepada siswa. Dengan ketrampilan inilah guru menempuh hidup dan kehidupannya di muka bumi ini.  Jika kita menelusuri lebih jauh, adanya tuntutan kepada guru untuk membekali siswa dengan ketrampilan sangat sesuai dengan kurikulum yang diberlakukan sekarang.
Pekerjaan membekali siswa dengan ketrampilan sama halnya dengan membekali siswa dengan kompetensi.  Melalui proses membekali siswa dengan kompetensi inilah akan terbentuk lifeskill (kecakapan hidup) yang akan berperan dalam siswa menjalankan kiprahnya sebagai khalifah di muka bumi.




[1] Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, Cet. XVII (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2005), hal. 9


[2] Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar, Cet. II, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hal. 198

[3] E. Mulyasa, Implementasi…., hal. 122

[4] Nurhadi, dkk., Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya Dalam KBK, (Malang: Universitas Negeri Malang, 2004), hal. 53

[5] Abdul Rachman Shaleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa : Visi, Misi dan Aksi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 11

[6] Mulyadi Sumantri dan Johar Permana, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 1999), hal. 134

[7] Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru …, hal. 4

[8] FA. Agus Wahyudi, “Guru Profesional Kunci Sukses, KBK.” Dalam Gerbang edisi 5 Tahun III, November 200, hal. 42

[9] Arief Rachman, dkk, Panduan Pelatihan Untuk Pengembangan Sekolah, (Jakarta: Depdiknas), Dirjen Dikdasmen, 2000), hal. 41

[10] Madyo Ekosuliso dan R.B. Kasihadi, Dasar-Dasar Pendidikan, (Semarang: Publishing, 1988), hal. 69

[11] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Cet. VIII, Edisi Revisi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), hal. 250