02 September 2015

Perkembangan Jiwa Agama Bagi Anak Usia Dini


Perkembangan Jiwa Agama Bagi Anak Usia Dini
Manusia dilahirkan dalam keadaan lemah baik fisik maupun psikis. Walaupun dalam keadaan demikian ia telah memiliki kemampuan bawaan yang bersifat mendasar, kemampuan bawaan ini yang disebut dengan potensi fitrah yaitu fitrah beragama dan kebenaran potensi fitrah ini memerlukan pengembangan melalui bimbingan, didikan dan pemeliharaan yang mantap lebih-lebih pada usia dini.
Di dalam al-Qur’an Allah berfirman, surat An-Nahlu ayat 78, yang berbunyi
والله اخرجكم من بطون امهاتكم لا تعلمون شيئا وجعل لكم السمع والابصار والافئدة لعلكم تشكرون (النحل: 78)
Artinya : “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur (An-Nahlu 78)”.[1]
            Hal itu sebagaimana Rasulullah SAW bersabda yang berbunyi :
...كل مولود يولد على الفطرة فأبواه يهودانه اوينصرانه اويمجسانه (رواه مسلم)
Artinya : “Tiap-tiap anak dilahirkan di atas fitrah, maka Ibu Bapaknyalah yang mendidiknya menjadi orang yang beragama Yahudi, Nasrani dan Majusi. (HR. Muslim)”.[2]
            Ayat dan Hadits di atas dapatlah dipahami bahwa anak itu membawa berbagai potensi. Apabila potensi tersebut di bina dan dikembangkan, ia akan menjadi manusia yang secara fisik dan psikis yang Islami.
            “Selain itu juga sesuai dengan prinsip pertumbuhan maka seorang anak menjadi dewasa memerlukan bimbingan sesuai dengan prinsip yang dimilikinya yaitu”:[3]
  1. Prinsip Biologis
Secara fisik anak yang baru dilahirkan dalam keadaan lemah dalam segala segi, ia selalu memerlukan bantuan dari orang dewasa di sekelilingnya. Dengan kata lain ia belum dapat berdiri sendiri karena  manusia bukanlah makhluk Instinktif. Keadaan tubuhnya belum tumbuh secara sempurna untuk difungsikan secara maksimal.
  1. Prinsip tanpa daya
Sejalan dengan belum sempurnanya pertumbuhan fisik dan psikisnya maka anak yang baru dilahirkan hingga menginjak usia dewasa selalu mengharapkan bantuan dari orang tuanya. Ia tidak berdaya untuk mengurus dirinya sendiri.
  1. Prinsip Eksplorasi
Kemantapan dan kesempurnaan perkembangan potensi manusia yang dibawa sejak lahir baik jasmani maupun rohani memerlukan pengembangan melalui pemeliharaan dan latihan. Jasmaninya baru akan berfungsi secara sempurna jika dipelihara dan dilatih. Akal dan fungsi mental lainnyapun baru akan menjadi baik dan berfungsi jika kemantangan dan pemeliharaan serta bimbingan dapat diarahkan kepada pengeksplorasian perkembangannya, demikian juga perkembangan agama pada diri anak.
a.      Perkembangan Agama Pada Anak-Anak
Sesuai dengan kodrat Tuhan bahwa perkembangan anak adalah melalui proses setingkat demi setingkat begitu juga dengan halnya dengan kepercayaan terhadap Tuhan.
Menurut penelitian Ernest Harms dalam bukunya : “The Development of Religious on Children“. Sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin Ia mengatakan bahwa “perkembangan agama pada anak itu melalui tiga tingkatan yaitu” : [4]
1). The Fairy Tale Stage (Tingkat dongeng)
Tingkat ini dimulai pada anak yang berusia 3-6 tahun. Pada tingkat ini konsep mengenai lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi, pada tingkat perkembangan ini akan menghayati konsep ke-Tuhanan sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya. Kehidupan masa ini banyak dipengaruhi kehidupan fantasi hingga dalam menanggapi agama pun anak masih menggunakan konsep fantasi yang diliputi oleh dongeng-dongeng yang kurang masuk akal.
2). The Realistic Stage (Tingkat kenyataan)
Tingkat ini dimulai sejak masuk sekolah dasar hingga sampai usia Addolessense pada masa ini ide ketuhanan anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang berdasarkan kepada kenyataan (Realis). Konsep ini timbul melalui berbagai kegiatan-kegiatan dan pengajaran agama dari orang dewasa lainnya.
Jadi pada masa ini anak-anak tertarik dan senang pada lembaga keagamaan yang mereka lihat dikelola oleh orang dewasa dilingkungan mereka. Segala bentuk kegiatan keagamaan mereka ikuti dan mempelajari dengan penuh minat.
3). The individual Stage (Tingkat Individu)
Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan dengan perkembangan usia mereka.
Maka anak-anak itu dengan sedikit mempunyai kecenderungan hidup dalam aturan-aturan agama kebiasaan menjalankan ibadah, takut melangkahi larangan-larangan agama dan dapat merasakan nikmatnya hidup beragama.
b.     Sifat-sifat Agama pada Anak-anak
Perkembangan Agama pada anak-anak berarti, memahami sifat-sifat agama pada anak-anak. Ide keagamaan pada anak-anak hampir sepenuhnya Autoritarius, maksudnya konsep keagamaan pada diri anak dipengaruhi oleh faktor dari luar diri mereka. “Hal tersebut dapat dimengerti karena sejak usia awal telah melihat, mempelajari hal-hal yang berada diluar dirinya. Berdasarkan hal-hal ini maka bentuk dan sifat agama pada diri anak dapat dibagikan”.[5]
1). Unreflective (Tidak Mendalam)
Pemahaman anak terhadap ajaran Agama dapat saja diterima dengan tanpa kritik kebenaran. Yang mereka terima tidak begitu mendalam hanya sebatas apa yang didengar, dan mereka mudah merasa puas dengan keterangan yang kadang-kadang masuk akal. Walaupun ada beberapa orang anak memiliki ketajaman pikiran untuk menimbang pendapat yang mereka terima dari orang lain.
2). Egosentris
Anak memiliki kesadaran akan diri sendiri sejak tahun pertama usia perkembangannya dan akan berkembang sejalan dengan pertambahan pengalamannya. Apabila kesadaran akan diri itu mulai subur pada diri anak, maka akan tumbuh keraguan pada rasa egonya. Semakin bertumbuh semakin meningkat pula egoisnya. Sehubungan dengan hal itu maka dalam masalah keagamaan anak telah menonjolkan kepentingan dirinya dan telah menuntut konsep keagamaan yang mereka pandang dari kesenangan pribadinya.
3). Anthromorphis
Pada umumnya konsep mengenai ke-Tuhanan pada anak berasal dari hasil pengetahuan dikala ia berhubungan dengan orang lain. Tapi suatu kenyataan bahwa konsep ketuhanan mereka tampak jelas menggambarkan aspek-aspek kemanusiaan, maksudnya konsep yang terbentuk dalam pikiran mereka menganggap prikeadaan tuhan itu sama dengan manusia.
4). Verbal dan Ritualis
Dari kenyataan yang kita alami, ternyata kehidupan agama pada anak-anak sebagian besar tumbuh mula-mula secara verbal (ucapan). Mereka menghafal secara verbal kalimat-kalimat keagamaan dan selain itu pula dari amaliah yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaman yang diajarkan kepada mereka.
5). Imitatif
Dalam kehidupan sehari-hari dapat kita saksikan bahwa tindakan keagamaan yang dilakukan oleh anak-anak pada dasarnya diperoleh dari meniru. Berdo’a dan shalat misalnya yang mereka laksanakan karena hasil melihat orang-orang disekitarnya, baik berupa pembiasaan maupun pengajaran yang intensif.
6). Rasa Heran
Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat kegamaan yang terakhir pada anak, berbeda dengan rasa kagum pada orang dewasa, maka rasa kagum pada anak ini belum bersifat kritis dan kreatif. Mereka hanya kagum terhadap keindahan lahiriah saja. Hal ini merupakan langkah pertama dari pernyataan kebutuhan anak akan dorongan untuk mengenal sesuatu yang baru, rasa kagum mereka dapat disalurkan melalui cerita-cerita yang menimbulkan rasa takjub.
“Hal ini adalah sangat berbeda dengan apa yang telah mereka gambarkan semula, maka timbulkah keraguan dalam jiwanya. Disinilah pentingnya orang tua memberikan kesadaran kepada anak, bahwa orang tua adalah manusia biasa yang dapat berbuat salah, sedangkan yang maha kuasa dan tidak akan berbuat salah itu hanyalah Allah. Dengan demikian rasa percaya pada anak-anak akan berkembang dengan benar”.[6]
Dr. Zakiah Darajat, Dalam bukunnya “Ilmu Jiwa Agama” Mengatakan bahwa “anak mulai mengenal tuhan sejak usia 3 dan  tahun, melalui bahasa, mereka mulai mengenal apa yang ada disekitar mereka, kemudian sering bertapa siapa tuhan, siapa yang membuat bulan dan lain sebagainya”.[7]
Dengan Demikian dapatlah kita pahami bahwa sifat keagamaan pada anak pada awalnya, hanya sebatas yang dapat dilihat atau yang kongkrit, kemudian berkembang sesuai binaan, didikan yang diterima atau pengalaman. Pengalamannya dikala ia berhubungan dengan orang lain terutama orang tuanya.


[1] Al-Qur’an dan Terjemahannya, Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, Jakarta.
[2] Imam Muslim, Shaheh Muslim, Jilid. III, Cet. I ,  (Bairut: Darul Fikri, 1993), hal. 342.
[3] Jalaluddin, Psikologi Agama, Cet. 3, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hal. 64.
[4] Ibid, hal. 66.
[5] Ibid., hal. 70.
[6] Zainuddin, Dkk, Metodik Khusus Pendidikan Agama Islam, Cet. VIII, (Surabaya : Usaha Nasional, 1983), hal. 32.
[7] Zakiah Darajat, Ilmu Jiwa Agama, Cet. III, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hal. 48.

No comments: