Perkembangan Jiwa Agama Bagi Anak
Usia Dini
Manusia
dilahirkan dalam keadaan lemah baik fisik maupun psikis. Walaupun dalam keadaan
demikian ia telah memiliki kemampuan bawaan yang bersifat mendasar, kemampuan
bawaan ini yang disebut dengan potensi fitrah yaitu fitrah beragama dan
kebenaran potensi fitrah ini memerlukan pengembangan melalui bimbingan, didikan
dan pemeliharaan yang mantap lebih-lebih pada usia dini.
والله
اخرجكم من بطون امهاتكم لا تعلمون شيئا وجعل لكم السمع والابصار والافئدة لعلكم
تشكرون (النحل: 78)
Artinya : “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan
tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan
hati agar kamu bersyukur (An-Nahlu 78)”.[1]
Hal
itu sebagaimana Rasulullah SAW bersabda yang berbunyi :
...كل مولود يولد
على الفطرة فأبواه يهودانه اوينصرانه اويمجسانه (رواه مسلم)
Artinya : “Tiap-tiap anak dilahirkan di atas fitrah, maka Ibu
Bapaknyalah yang mendidiknya menjadi orang yang beragama Yahudi, Nasrani dan
Majusi. (HR. Muslim)”.[2]
Ayat dan Hadits di atas dapatlah
dipahami bahwa anak itu membawa berbagai potensi. Apabila potensi tersebut di
bina dan dikembangkan, ia akan menjadi manusia yang secara fisik dan psikis
yang Islami.
“Selain
itu juga sesuai dengan prinsip pertumbuhan maka seorang anak menjadi dewasa
memerlukan bimbingan sesuai dengan prinsip yang dimilikinya yaitu”:[3]
- Prinsip Biologis
Secara fisik
anak yang baru dilahirkan dalam keadaan lemah dalam segala segi, ia selalu
memerlukan bantuan dari orang dewasa di sekelilingnya. Dengan kata lain ia
belum dapat berdiri sendiri karena
manusia bukanlah makhluk Instinktif. Keadaan tubuhnya belum tumbuh
secara sempurna untuk difungsikan secara maksimal.
- Prinsip tanpa daya
Sejalan dengan
belum sempurnanya pertumbuhan fisik dan psikisnya maka anak yang baru
dilahirkan hingga menginjak usia dewasa selalu mengharapkan bantuan dari orang
tuanya. Ia tidak berdaya untuk mengurus dirinya sendiri.
- Prinsip Eksplorasi
Kemantapan dan
kesempurnaan perkembangan potensi manusia yang dibawa sejak lahir baik jasmani
maupun rohani memerlukan pengembangan melalui pemeliharaan dan latihan.
Jasmaninya baru akan berfungsi secara sempurna jika dipelihara dan dilatih.
Akal dan fungsi mental lainnyapun baru akan menjadi baik dan berfungsi jika
kemantangan dan pemeliharaan serta bimbingan dapat diarahkan kepada
pengeksplorasian perkembangannya, demikian juga perkembangan agama pada diri
anak.
a.
Perkembangan Agama Pada Anak-Anak
Sesuai dengan kodrat Tuhan bahwa perkembangan anak adalah melalui
proses setingkat demi setingkat begitu juga dengan halnya dengan kepercayaan
terhadap Tuhan.
Menurut penelitian Ernest Harms
dalam bukunya : “The Development of Religious on Children“. Sebagaimana
dikutip oleh Jalaluddin Ia mengatakan bahwa “perkembangan agama pada
anak itu melalui tiga tingkatan yaitu” : [4]
1).
The Fairy Tale Stage (Tingkat dongeng)
Tingkat
ini dimulai pada anak yang berusia 3-6 tahun. Pada tingkat ini konsep mengenai
lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi, pada tingkat perkembangan ini
akan menghayati konsep ke-Tuhanan sesuai dengan tingkat perkembangan
intelektualnya. Kehidupan masa ini banyak dipengaruhi kehidupan fantasi hingga
dalam menanggapi agama pun anak masih menggunakan konsep fantasi yang diliputi
oleh dongeng-dongeng yang kurang masuk akal.
2).
The Realistic Stage (Tingkat kenyataan)
Tingkat
ini dimulai sejak masuk sekolah dasar hingga sampai usia Addolessense pada masa
ini ide ketuhanan anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang berdasarkan kepada
kenyataan (Realis). Konsep ini timbul melalui berbagai kegiatan-kegiatan dan
pengajaran agama dari orang dewasa lainnya.
Jadi
pada masa ini anak-anak tertarik dan senang pada lembaga keagamaan yang mereka
lihat dikelola oleh orang dewasa dilingkungan mereka. Segala bentuk kegiatan
keagamaan mereka ikuti dan mempelajari dengan penuh minat.
3).
The individual Stage (Tingkat Individu)
Pada
tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan
dengan perkembangan usia mereka.
Maka
anak-anak itu dengan sedikit mempunyai kecenderungan hidup dalam aturan-aturan
agama kebiasaan menjalankan ibadah, takut melangkahi larangan-larangan agama
dan dapat merasakan nikmatnya hidup beragama.
b.
Sifat-sifat Agama pada Anak-anak
Perkembangan Agama pada anak-anak berarti, memahami sifat-sifat agama
pada anak-anak. Ide keagamaan pada anak-anak hampir sepenuhnya Autoritarius,
maksudnya konsep keagamaan pada diri anak dipengaruhi oleh faktor dari luar
diri mereka. “Hal tersebut dapat dimengerti karena sejak usia awal telah
melihat, mempelajari hal-hal yang berada diluar dirinya. Berdasarkan hal-hal
ini maka bentuk dan sifat agama pada diri anak dapat dibagikan”.[5]
1).
Unreflective (Tidak Mendalam)
Pemahaman
anak terhadap ajaran Agama dapat saja diterima dengan tanpa kritik kebenaran.
Yang mereka terima tidak begitu mendalam hanya sebatas apa yang didengar, dan
mereka mudah merasa puas dengan keterangan yang kadang-kadang masuk akal.
Walaupun ada beberapa orang anak memiliki ketajaman pikiran untuk menimbang
pendapat yang mereka terima dari orang lain.
2).
Egosentris
Anak
memiliki kesadaran akan diri sendiri sejak tahun pertama usia perkembangannya
dan akan berkembang sejalan dengan pertambahan pengalamannya. Apabila kesadaran
akan diri itu mulai subur pada diri anak, maka akan tumbuh keraguan pada rasa
egonya. Semakin bertumbuh semakin meningkat pula egoisnya. Sehubungan dengan
hal itu maka dalam masalah keagamaan anak telah menonjolkan kepentingan dirinya
dan telah menuntut konsep keagamaan yang mereka pandang dari kesenangan
pribadinya.
3). Anthromorphis
Pada
umumnya konsep mengenai ke-Tuhanan pada anak berasal dari hasil pengetahuan
dikala ia berhubungan dengan orang lain. Tapi suatu kenyataan bahwa konsep
ketuhanan mereka tampak jelas menggambarkan aspek-aspek kemanusiaan, maksudnya
konsep yang terbentuk dalam pikiran mereka menganggap prikeadaan tuhan itu sama
dengan manusia.
4). Verbal dan Ritualis
Dari
kenyataan yang kita alami, ternyata kehidupan agama pada anak-anak sebagian
besar tumbuh mula-mula secara verbal (ucapan). Mereka menghafal secara verbal
kalimat-kalimat keagamaan dan selain itu pula dari amaliah yang mereka
laksanakan berdasarkan pengalaman yang diajarkan kepada mereka.
5). Imitatif
Dalam
kehidupan sehari-hari dapat kita saksikan bahwa tindakan keagamaan yang
dilakukan oleh anak-anak pada dasarnya diperoleh dari meniru. Berdo’a dan
shalat misalnya yang mereka laksanakan karena hasil melihat orang-orang disekitarnya,
baik berupa pembiasaan maupun pengajaran yang intensif.
6). Rasa Heran
Rasa
heran dan kagum merupakan tanda dan sifat kegamaan yang terakhir pada anak, berbeda
dengan rasa kagum pada orang dewasa, maka rasa kagum pada anak ini belum
bersifat kritis dan kreatif. Mereka hanya kagum terhadap keindahan lahiriah
saja. Hal ini merupakan langkah pertama dari pernyataan kebutuhan anak akan
dorongan untuk mengenal sesuatu yang baru, rasa kagum mereka dapat disalurkan
melalui cerita-cerita yang menimbulkan rasa takjub.
“Hal
ini adalah sangat berbeda dengan apa yang telah mereka gambarkan semula, maka
timbulkah keraguan dalam jiwanya. Disinilah pentingnya orang tua memberikan
kesadaran kepada anak, bahwa orang tua adalah manusia biasa yang dapat berbuat
salah, sedangkan yang maha kuasa dan tidak akan berbuat salah itu hanyalah
Allah. Dengan demikian rasa percaya pada anak-anak akan berkembang dengan benar”.[6]
Dr.
Zakiah Darajat, Dalam bukunnya “Ilmu Jiwa Agama” Mengatakan bahwa “anak mulai
mengenal tuhan sejak usia 3 dan tahun,
melalui bahasa, mereka mulai mengenal apa yang ada disekitar mereka, kemudian
sering bertapa siapa tuhan, siapa yang membuat bulan dan lain sebagainya”.[7]
Dengan
Demikian dapatlah kita pahami bahwa sifat keagamaan pada anak pada awalnya,
hanya sebatas yang dapat dilihat atau yang kongkrit, kemudian berkembang sesuai
binaan, didikan yang diterima atau pengalaman. Pengalamannya dikala ia
berhubungan dengan orang lain terutama orang tuanya.
[1] Al-Qur’an
dan Terjemahannya, Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, Jakarta .
[2] Imam Muslim, Shaheh Muslim, Jilid.
III, Cet. I , (Bairut: Darul Fikri,
1993), hal. 342.
[3] Jalaluddin, Psikologi Agama, Cet.
3, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hal. 64.
[4] Ibid,
hal. 66.
[6] Zainuddin, Dkk, Metodik Khusus
Pendidikan Agama Islam, Cet. VIII, (Surabaya : Usaha Nasional, 1983), hal.
32.
[7] Zakiah Darajat, Ilmu Jiwa Agama, Cet.
III, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hal. 48.
No comments:
Post a Comment