01 December 2015

Hakikat Pembelajaran Al-Qur’an



Hakikat Pembelajaran Al-Qur’an
Al-Qur’an memiliki kedudukan istimewa dan keunggulan-keunggulan bila dibandingkan dengan kitab-kitab lainnya. Ia adalah kitab suci yang menjadi mu’jizat, kitab yang memberikan penjelasan dan mudah dipahami, kitab suci yang dijamin pemeliharaan keautentikannya, kitab suci bagi agama seluruhnya, kitab bagi seluruh zaman dan kitab suci bagi seluruh manusia.
Kedudukan dan keistimewaan Al-Qur’an yang sedemikian rupa, tidak akan mampu dipahami begitu saja, tanpa dan usaha untuk mempelajarinya. Hal yang paling mungkin dan dapat diakui oleh semua pihak, sebagai langkah memahami Al-Qur’an adalah dimulai dengan membaca.
Petunjuk-petunjuk dan pelajaran berharga yang dikandung Al-Qur’an tidak dapat memberi banyak manfaat, kacuali lewat membacanya. Jadilah, membaca itu suatu keniscayaan dalam mempelajari Al-Qur’an dalam kedudukannya sebagai sumber hukum Islam pertama, sebagaimana firman Allah:

الركتب احكمت ايته ثم فصلت من لدن حكيم خبير (هود : ١)
Artinya : Alif lam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi Allah yang Maha Bijaksana dan lagi Maha Mengetahui. (Q.S. Hud : 1).
Yusuf Al-Qardhawi berpendapat bahwa ”melihat kedudukan Al-Qur’an yang begitu istimewa, maka kita berkewajiban untuk memperlakukan Al-Qur’an ini secara baik dengan menghafal, membaca dan mendengarkannya, serta merenungkannya”.[1]
Salah satu kedudukan Al-Qur’an yang begitu istimewa adalah keleluasaannya tidak memberatkan manusia, bahkan Al-Qur’an meringankan beban-beban yang ada dipundak manusia, bahkan membuka belenggu yang pernah menjerat manusia. Al-Qur’an diturunkan juga untuk menyenpurnakan syariat-syariat sebelumnya yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan meluruskan kesalahan-kesalahan pada kitab sebelumnya yang megandung syariat-syariat akibat perbuatan manusia.
Syed Nuquid Al-Attas “menyetakan kemampuan menguasai Al-Qur’an apakah membaca atau menafsirkannya dalam kelompok mata kuliah / pelejaran yang fardhu ain sifatnya”.[2]
Kita sebagai umat islam haruslah menjadikan Al-Qur’an sebagai perhiasan dan hidup berpegang kepada AlQur’an dengan cara mempelajari, memahami, mengafalkan, menafsirkan, mengajarkan, dan mengamalkannya selayaknya untuk mengetahui kewajiban kita terhadap Al-Qur’qn serta menyebarkannya kepada umat manusia.
Pemahaman sangat berperan dalam membentuk kepribadian seseorang, begitupun hubungan orang islam dengan kitab suci Al-Qur’an, mesti diambil dengan penguasaan ayat-ayatnya. Disamping sebagai sunber hukum, Al-Qur’an juga sebagai sumber pengetahuan.
Ulama berpendapat bahwa “Al-Qur’an itu sumber mutlak bagi ilmu pengetahuan, Beliau mengutip kata-kata Ibnu Mas’ud jika seseorang ingin memiliki pengetahuan masa lampau dan pengatahuan modern, selayaknya ia merenungkan Al-Qur’an”.[3]
Membaca serta mempelajari Al-Qur’an sebagai kitab suci tentunya harus mengikuti petunjuk yang datang dari pembawaannya. Bahkan Al-Qur’an memperkenalkan bagaimana seharusnya membaca Al-Qur’an.
Ibnu Katsir, menafsirkan, bahwa yang dengan membaca Al-Qur’an secara tartil adalah “membaca dengan menjadi mad (panjang pendeknya), ayat perayat serta membaguskan suaranya saat membacanya”.[4]
Berkenaan dengan ini membaca Al-Qur’an tidak semata menjaga makna, kalimat-kalimat serta lafadnya saja, namun juga cara membaca dan makhraj hurufnya seperti kata mana yang harus mad (panjang) dan mana yang harus ghunnah (dengung), izhar (jelas), idgham (digabungkan), ikhfa (disamarkan), dan iqlab (dibaliknya).
Dari berbagai pendapat diatas nyatalah, bahwa membaca Al-Qur’an adalah merupakan suatu kewajiban. Dalam membaca Al-Qur’an tentunya harus menjaga kaidah-kaidah bacaan. Bahkan dalam disiplin ilmu, cara baca Al-qur’an dijelaskan dengan rinci dalam ilmu tajwid.






[1] Yusuf  Al-Qardhawi, Berinteraksi dengan Al-Qur’an, Cet. I, 1999, hal. 10.

[2] Wan  Mob Noor  Wan  Daud, Filsafat dan Praktis Pendidikan Islam, (Bandung: Mizan, 2003), hal. 274.

[3]  Mahdi  Qulsyani, Filsafat Sains menurut Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1993), hal. 136

[4] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir,  (Semarang: Toha, t.t), hal. 434.

No comments: