02 June 2015

Pengertian Guru dan Fungsinya


1.    Pengertian Guru
Guru menurut bahasa adalah “orang yang mengajar”.[1] Sedangkan pengertian guru menurut istilah adalah “pendidik dan pengajar pada pendidikan formal, pendidikan dasar dan menengah”.[2] Selanjutnya secara legal formal yang dimaksud dengan guru adalah “sesiapa yang memperoleh Surat Keputusan (SK), baik dari pemerintah maupun swasta untuk melaksanakan tugasnya, dan karena itu ia memiliki hak dan kewajiban untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar dilembaga pendidikan sekolah”.[3]
Menurut UU No. 14 Tahun 2005 (Undang-undang Tentang Guru dan Dosen) menyebutkan bahwa guru adalah “pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, membimbing, mengarahkan, melatih, dan mengevaluasi peserta didik”.[4]
Dari pengertian-pengertian diatas dapat diketahui bahwa guru merupakan sosok yang terhormat lantaran memiliki andil yang sangat besar terhadap keberhasilan pembelajaran di sekolah. Guru sangat berperan dalam membantu perkembangan peserta didik untuk mewujudkan tujuan hidupnya secara optimal dan kejalan yang benar.
Adapun sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seseorang guru adalah sebagai berikut :
a.    Baik hati.
b.    Jenaka.
c.    Sabar.
d.   Bertanggung jawab.
e.    Yakin.
f.     Kepemimpinan.[5]

Dari sekian banyak sifat-sifat guru yang tersebut diatas, namun belum begitu sempurna apabila seseorang guru kurang memperhatikan penampilannya. Penampilan sebagai seseorang guru agama yang adalah panutan bagi para muridnya sebaiknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a.    “Pakaian yang dikenakan sederhana, sopan, berkesan baik dan rapi, dan
b.    Bagi guru wanita, memakai make up yang wajar dan tidak memakai perhiasan yang berlebihan”.[6]

Penampilan dari seorang guru akan membuat peserta didik berkesan dan semangat dalam proses belajara mengajar, peserta didik merasa lebih senang kepada guru yang bernampilan menarik dan sopan. Disamping dari pada penampilan, seseorang guru harus adanya kemampuan dan dapat mengembangkan kemampuannya.
Adapun kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki seseorang guru adalah sebagai berikut :
a.    Kemampuan memahami dan menetapkan tujuan pengajaran.
b.    Kemampuan mengelola kelas dengan baik.
c.    Kemampuan memilih metode mengajar yang cocok dengan tujuan dan bahan pengajaran.
d.   Kemampuan dan keterampilan dalam menyajikan pelajaran.
e.    Kemampuan menciptakan suasana belajar yang baik.
f.     Perencanaan dan pelaksanaan evaluasi.[7]

Dengan adanya kemampuan-kemampuan tersebut diatas, maka PBM akan berjalan lebih optimal. Oleh karena itu, kesuksesan pembelajaran adalah tergantung pada kemampuan guru dalam menguasai dan menyampaikan materi yang diajarkan.

2.    Fungsi Guru Agama
Dalam Proses Belajar Mengajar (PBM), guru berfungsi sebagai derektur belajar, artinya setiap guru diharapkan untuk pandai-pandai mengarahkan kegiatan belajar siswa agar mencapai keberhasilan belajar sebagaimana yang telah ditetapkan dalam sasaran kegiatan PBM.
Fungsi guru agama dalam interaksi edukatif sama dengan guru pada umumnya. Guru agama mempunyai fungsi dan peran yang penting dalam interaksi edukatif di sekolah. Karena tugasnya yang mulia, guru agama menempati posisi yang mulia yang berfungsi sebagai berikut :
a.  Sebagai pemberi pengetahuan yang benar kepada muridnya.
Sebagai pemberi pengetahuan yang benar, maka guru agama senantiasa mendidik anak bangsa menjadi manusia yang berguna, insan yang kamil serta seorang mujahid dan mujtahid. Penat dan lelah bukanlah kamus hidup seorang insan yang bergelar guru. Dengan demikian, guru agama berkewajiban memberikan ilmu yang bermanfaat kepada anak bangsa dengan harapan anak didiknya mendapat kecermelangan dunia dan akhirat.
Dalam hal ini, Abdul Khaliq dalam bukunya menjelaskan bahwa guru agama berkewajiban memberi pengetahuan yang benar kepada muridnya, karena setiap materi yang diajarkan ada kaitannya dengan al-Qur’an dan al-Hadits. Oleh karena itu, guru agama sangat hati-hati dalam menyampaikan materi dalam proses belajar mengajar.[8]

b.  Sebagai pembina akhlak yang mulia.
Guru agama paling dominan dalam mempengaruhi akhlak siswa disekolah setelah kedua orang tuanya. Guru agama merupakan wakil wali murid didalam mendidik anaknya. Oleh karena itu, guru tidak hanya mencerdaskan para siswanya tetapi bagaimana ia membentuk dan meningkatkan akhlak para siswa. Inilah tujuan pendidikan agama yang urgen.
Untuk memperjelas hal ini, sebagai pembina akhlak yang mulia yaitu guru agama harus memiliki sifat-sifat yang disenangi oleh murid-muridnya dan masyarakat. Sifat-sifat itu sangat diperlukan terutama pada diri guru agama itu sendiri dan kemudian dapat membina murid-muridnya sebagai suri teladan yang baik agar supaya dapat melaksanakan pengajaran secara efektif. Oleh karena itu, guru agama adalah guru utama yang membina akhlak peserta didik untuk menjadi lebih baik dan mengarahkannya kepada jalan yang benar yaitu jalan yang diridhai Allah SWT.[9]



 
c.  Sebagai pemberi petunjuk kepada anak didik tentang hidup yang baik.
Dalam hal ini penulis menjelaskan sedikit tentang hidup yang baik, yaitu terutama sekali hidup dengan penuh rasa bersyukur atas nikmat yang telah diberikan Allah SWT kepada kita. Disamping dari pada itu, hidup rukun dengan tetangga dan teman-teman tanpa ada keributan dan tidak adanya sifat dengki serta iri hati. Karena sifat yang demikian itu dapat membuat hati tidak tenang dan dapat membawa hidup kearah yang tidak baik.
Untuk memperjelas hal ini, guru agama berkewajiban memberikan petunjuk kepada anak didik tentang hidup yang baik, yaitu guru agama mencohtohkan bagaimana cara kehidupan Rasulullah SAW dari semenjak beliau kecil sampai beliau wafat. Guru agama perlu memahami tentang tata cara hidup yang baik, hidup yang disenangi oleh semua manusia. Oleh Karena itu, guru agama memberikan contoh-contoh yang terbaik kepada anak didik, baik dalam bergaul sesama teman, bergaul dalam keluarga dan masyarakat.[10]

Sementara peran seorang guru adalah sebagai berikut :
1.  Sebagai Mediator dan Fasilitator
Seseorang guru yang berperan sebagai mediator dan fasilitator bukanlah seseorang yang mahatahu dan murid bukanlah yang belum tahu dan karena itu harus diberi tahu. Dalam PBM, siswa aktif mencari tahu dengan membentuk pengetahuannya, sedangkan guru membantu agar pencarian itu berjalan baik. Dalam banyak hal guru dan siswa bersama-sama membangun pengetahuan. Dalam artian inilah hubungan guru dan siswa sebagai mitra yang bersama-sama membangun pengetahuan.
Dalam hal ini, Moh. Uzer Usman dalam bukunya menjelaskan bahwa guru sebagai mediator yaitu guru hendaknya memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup tentang media pendidikan, karena media pendidikan merupakan alat komunikasi untuk lebih mengefektifkan proses belajar mengajar. Dengan demikian, media pendidikan merupakan dasar yang sangat diperlukan yang bersifat melengkapi dan merupakan bagian integral demi berhasilnya proses pendidikan dan pengajaran di sekolah. Sementara itu, sebagai fasilitator guru hendaknya mampu mengusahakan sumber belajar yang berguna serta dapat menunjang percapaian tujuan dan proses belajar mengajar, baik berupa buku teks, majalah, ataupun surat kabar.[11]

2.  Guru sebagai Demonstrator
Peran guru sebagai demonstrator agar guru dapat mempertunjukkan kepada siswa segala sesuatu yang dapat membuat siswa lebih mengerti dan memahami setiap pesan yang disampaikan.
Disamping dari itu, yang dikatakan guru sebagai demonstrator yaitu guru yang terutama sekali harus menguasai bahan atau materi pelajaran yang akan diajarkannya serta senatiasa mengembangkannya dalam arti meningkatkan kemampuannya dalam ilmu yang dimilikinya, karena hal ini akan sangat menentukan hasil belajar yang dicapai oleh siswa. Sementara yang harus diperhatikan oleh guru bahwa ia sendiri adalah pelajar. Ini berarti guru harus belajar terus menerus. Dengan demikian, ia akan memperkaya dirinya dengan berbagai ilmu pengetahuan sebagai bekal dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengajar dan demontrator, sehingga mampu memperagakan apa yang diajarkannya supaya apa yang disampaikannya itu betul-betul dimiliki oleh anak didik.[12]

3.  Guru sebagai Pembimbing
Guru sebagai pembimbing yaitu membimbing agar siswa tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensinya. Dalam hal ini guru harus memahami anak didik yang sedang dibimbingnya. Misalnya memahami tentang gaya dan kebiasaan belajarnya, memahami potensi dan bakatnya.
Dengan kata lain, guru sebagai pembimbing yaitu guru berkewajiban memberikan bantuan kepada murid agar mereka mampu menemukan masalahnya sendiri, memecahkan masalahnya sendiri, mengenal dirinya sendiri dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Karena murid membutuhkan bantuan guru dalam hal mengatasi kesulitan-kesulitan pribadi, kesulitan pendidikan, kesulitan memilih pekerjaan, kesulitan dalam hubungan sosial dan interpersonal. Oleh karena itu, setiap guru perlu memahami dengan baik tentang teknik bimbingan kelompok, penyuluhan individual, teknik pengumpulan keterangan, teknik evaluasi, statistik penelitian, psikologi kepribadian dan psikologi belajar. Namun demikian harus dipahami bahwa pembimbing yang terdekat adalah guru. Karena murid menghadapi masalah dimana guru tidak sanggup memberikan bantuan cara memecahkannya, baru meminta bantuan kepada ahli bimbingan untuk memberikan bimbingan kepada anak yang bersangkutan.[13]

4.  Guru sebagai Pribadi
Guru sebagai pribadi merupakan sebagai individu yang berkecimpung dalam pendidikan, guru harus memiliki kepribadian yang mencerminkan seorang pendidik. Tuntutan akan kepribadian sebagai pendidik kadang-kadang dirasakan lebih berat dibandingkan profesi lainnya. Ungkapan yang dikemukakan adalah guru bisa digugu dan ditiru. Digugu maksudnya bahwa pesan-pesan guru dapat dipercaya untuk dilaksanakan dan pola hidupnya bisa ditiru atau diteladani.
Dengan kata lain, guru sebagai pribadi yaitu guru harus memiliki sifat-sifat yang disenangi oleh murid-muridnya, oleh orang tua dan masyarakat. Sifat-sifat itu sangat diperlukan agar ia dapat melaksanakan pengajaran secara efektif. Karena itu, guru wajib berusaha memupuk sifat-sifat pribadinya sendiri dan mengembangkan sifat-sifat pribadi yang disenangi oleh pihak luar. Jadi, setiap guru perlu sekali memiliki sifat-sifat pribadi, baik untuk kepentingan jabatannya maupun untuk kepentingan dirinya sendiri.[14]

5.  Guru sebagai Penghubung
Guru sebagai penghubung adalah guru dapat menghubungkan sekolah dengan masyarakat. Karena sekolah berdiri ditengah masyarakat maka segala sesuatu yang diajarkan di sekolah ada hubungan dan kaitannya dengan masyarakat, baik dengan adat istiadat, sosial serta kebudayaan pada masyarakat itu sendiri.
Untuk memperjelas hal ini, Moh. Uzer Usman dalam bukunya juga menjelaskan bahwa guru sebagai penghubung yaitu guru harus bisa menghubungkan sekolah dengan masyarakat. Karena sekolah berdiri diantara dua lapangan, yakni yang satu pihak mengemban tugas menyampaikan dan mewariskan ilmu, teknologi dan kebudayaan yang terus menerus berkembang, dan dilain pihak guru bertugas menampung aspirasi, masalah, kebutuhan minat dan tuntutan masyarakat. Dengan demikian, sekolah memegang peranannya sebagai penghubung dimana guru untuk menghubungkan sekolah dengan masayarakat, antara lain dengan publik relation, bulletin, pameran dan lain sebagainya.[15]



[1] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. IX, edisi ke II, (Jakarta; Balai Pustaka, 1997), hal. 788

[2] Ibid hal. 330
[3] Suparlan, Guru Sebagai Profesi, (Yogyakarta; Hikayat, 2006), hal. 11
[4] Pemerintah Republik Indonesia, UU RI No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, (Jakarta; Redaksi Sinar Grafika, 2006), hal. 2

[5]Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Online) http://www.pendidikan-islam.com/bagaimana-sifat-sifat-guru-yang-diharapkan-dalam-sistem-pendidikan-islam, 24 Desember 2010

[6]Paulus Lie, Mengajar Sekolah Minggu yang Kreatif, (Yogyakarta; Yayasan Andi, 1997), hal. 113

[7] Sidjabat, Menjadi Guru Profesional, (Jakarta; Yayasan Kalam Hidup, 2007), hal. 46


[8] Abdul Khaliq, Diklat Tentang Pendidik, (Jakarta; Bulan Bintang, 1990), hal. 8

[9] Ibid, hal. 9

[10] Ibid, hal. 9

[11] Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung; PT. Remaja Rosdakarya, 2005), hal. 11


[12] Ibid, hal. 12

[13] Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar, (Jakarta; PT. Bumi Aksara, 2001), hal. 124

[14] Ibid, hal. 125

[15] Ibid, hal. 126