BAB II
DAYAH DAN POTENSI PENDIDIKAN
A. Sejarah Pendidikan Dayah di Indonesia
Dayah merupakan lembaga pendidikan yang
berdasarkan keagamaan, dengan dasar dan tujuan yang sesuai dengan ajaran Islam.
Pendidikan dayah berdasarkan pendidikan tauhid, yaitu keyakinan dan kepercayaan
kepada Allah SWT yang merupakan sandaran umat manusia dan makhluk lainnya di
alam ini, agar manusia senantiasa bisa mengaplikasikannya dalam kehidupan
sehari-hari.
Sebagai lembaga pendidikan tradisional agama Islam
yang tertua di Indonesia, yang mampu bertahan dan berkembang hingga saat ini. Banyak masyarakat yang merasakan adanya
pendidikan pada Dayah bahkan jauh sebelum gerakan perjuangan nasional untuk
kemerdekaan Indonesia.
Sebelum Belanda datang ke Indonesia, Dayah
merupakan pusat pembinaan masyarakat yang dilaksanakan melalui
kegiatan-kegiatan penyebara agama yang mempunyai peranan penting. Setelah
Belanda berhasil menguasai kerajaan-kerajaan di nusantara, disamping sebagai
lembaga pendidikan agama, Dayah juga menjadi pusat perlawanan dan pertahanan
terhadap kekuasaan Belanda.
Dalam hal ini Abdul Rachman Shaleh mengatakan :
Dayah sebagai lembaga pendidikan Islam tertua
di Indonesia telah menunjukan kemampuaannya, dalam mencetak kader-kader ulama,
sehingga tidak mengherankan apabila dalam masa penjajahan Belanda dan Jepang
sering timbul pemberontakan-pemberontakan yang dipimpin kalangan dayah demikian
pula dalam sejarah perjuangan merebut kemerdekaan, kalangan pondok dayah selalu
ikut aktif mengambil bagian melawan kaum penjajah.[1]
Dayah sebagai lembaga pendidikan keagamaan mengajarkan
dan mengembangkan serta menyebarkan ilmu pegetahuan agama Islam. Dari sekian banyak Dayah yang tersebar di
seluruh Indonesia,
mengajarkan ilmu pengetahuan agama sedangkan sebagian lainnya menambah dengan ilmu
pengetahuan umum dan berketrampilan lainnya.
Dayah pada waktu itu merupakan lembaga
pendidikan yang mengajarkan ilmu agama dan sebagai benteng pertahanan rakyat
melawan kekuasaan Belanda, menggantikan peranan kerajaan-kerajaan yang telah
dikuasai oleh Belanda.
Drs. H. Kafrawi, MA menjelaskan “sebagai
lembaga pendidikan Islam, Dayah pada dasarnya hanya mengajarkan agama, sedang
sumber mata pelajarannya adalah kitab-kitab dalam bahasa Arab”.[2]
Dengan pola pendidikan
yang unik, Dayah mampu bertahan berabad-abad untuk mempergunakan nilai-nilai
hidup sehari-hari. Karena itu dalam jangka panjang Dayah berada dalam kedudukan
kultural yang relatif lebih kuat dari masyarakat sekitarnya, jadi dalam
penyesuaian ini pihak dayah selalu siap menghadapi perkembangan zaman, karena
harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Kehadiran Dayah
didorong oleh memperbaiki kehidupan pribadi dan masyarakat, sehingga banyak
hal-hal positif yang dapat diambil dari perkembangan Dayah itu bagi pendidikan
bangsa kehidupan beragama dan bermasyarakat.
Pada masa kebangkitan
sampai dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia,
dayah telah mampu berpartisipasi secara aktif, oleh karena itulah setelah indonesia
merdeka dayah mendapat tempat dimasyarakat. Sedangkan dalam era kemerdekaan dan
pembangunan sekarang, pesantren berpartisipasi secara aktif mengisi kemerdekaan
dan pembangunan. Karena dayah tumbuh dan berkembang dari, oleh dan untuk
masyarakat.
Ciri-ciri Dayah di Indonesia yaitu adanya Kyai,
Santri dan Asrama telah dikenal di masa lampau sebelum pendidikan Barat masuk
ke Indonesia.
Di Dayah inilah mulai para santri mengenal dan membaca huruf Arab. Karena
populernya, sehingga banyak Santri yang datang
dari kampung untuk belajar di Dayah.
Selain kehadirannya, dayah juga mempunyai
tujuan yang mengarahkan dalam melaksanakan sesuatu kegiatan terutama dalam
bidang pendidikan yang menyangkut dengan pembinaan manusia.
Tujuan pendidikan dayah difokuskan dan
mengutamakan mencetak kader-kader ulama yang berbakti, mengabdi dan bertakwa kepada
Allah SWT. Sebagaimana firman-Nya:
وما خلقت الجن واﻷنس الا ليعبدون (الذاريات : ٥٦)
Artinya: Dan tidak aku
ciptakan jin dan manusia melainkan untuk menyembah kepadaku.[3]
Dari ayat diatas jelaslah bahwa Allah
menciptakan manusia untuk bertakwa kepada-Nya. Kemudian dalam tujuan pendidikan
nasional juga disebutkan bahwa tujuan pendidikan itu untuk meningkatkan
ketakwaan kepada Allah SWT. Dengan
demikian tujuan pendidikan dayah sejalan dengan tujuan pendidikan nasional,
karena dayah merupakan mata rantai yang tidak terlepas dari pendidikan nasional.
Dari segi pertumbuhannya Dayah berkembang sedikit
demi sedikit. Umumnya Dayah
memiliki seorang Kyai secara pribadi dan tidak ada badan-badan yang
mempengaruhinya. Dengan modal harta kekayaan di tambah dengan harta waqaf yang dipakai sebagai tempat pendidikan.
Berdirinya Dayah atas persetujuan Kyai. Para
santri datang ke Dayah dengan harapan menjadi orang shaleh.
Keberhasilan Dayah melalui perjuangan yang kuat,
karena banyak rintangan dan gangguan terhadap perkembangan Dayah. Namun demikian
dayah juga berusaha mempertahankan ciri dan identitas dayah, sebagaimana
dikatakan bahwa :
Perlu diadakan pembaharuan sistem pendidikan
Dayah walaupun menyadari akan kedudukan dayah dan atas kedudukan itu
pembaharuan yang sebenarnya terletak ditangan pondok. Beberapa hal rasional bagi pembaharuan dan peran
departemennya diajukan, diketengahkan bahwa pendidikan dan pengajaran belum
mencapai tujuan.[4]
Dengan demikian kegiatah di atas dapat disimpulkan
bahwa kendati pun Dayah sekarang masih kurang dukungan dari masyarakat. Tetapi
pada suatu saat Dayah akan mendapat perhatian setelah adanya hasil yang positif
terutama dari keterampilan.
Pengembangan agama adalah salah satu motivasi
dalam mempertahankan dan mengembangkan kehidupan Pesantren, sehingga sampai
sekarang Pesantren atau Dayah masih berdiri kokoh di tengah-tengah perkembangan
pendidikan modern sebagai lembaga pendidikan yang berperan dalam mencetak
kader-kader agama dan bangsa.
Dari gambaran sejarah Dayah tersebut, dapat
diketahui sejauh mana Pesantren sebagai pendidikan agama yang tradisional
memberikan pengaruh Positif dalam bidang pendidikan agama. Pesantren sudah
cukup tua berkembang di kalangan masyarakat, dalam membina masyarakat yang
berada di sekitarnya.
B. Bentuk-Bentuk Dayah
Dalam perkembangan lebih lanjut, Dayah
disamping memberikan pelajaran ilmu agama, juga memberikan ilmu pengetahuan
umum dengan sistem Madrasah atau sekolah.
Oleh karena itu dari sudut administrasi
pendidikan, Dayah dapat dibedakan dalam empat bentuk :
1. Dayah dengan sistem lama yang pada umumnya
terdapat jauh dari luar kota,
hanya memberikan pengajian.
2. Dayah modern dengan sistem klasikal berdasarkan
kurikulum yang tersusun baik,termasuk pendidikan skil atau vekational
(keterampilan)
3. Dayah dengan kombinasi yang disamping
memberikan pelajaran dengan sistem pengajian, juga Madrasah yang dilengkapi
dengan pengetahuan menurut tingkat atau jenjangnya.
4. Dayah yang tidak jauh lebih dari asrama
pelajaran dari pada Dayah yang semestinya.[5]
Lembaga Dayah dalam hal ini dibedakan dari
Madrasah.Perbedaan utamanya terletak pada sistem pendidikannya. Dayah pada
umumnya berdasarkan pada kitab kuning atau kitab yang berbahasa Arab. Sedangkan
Madrasah pengajarannya telah memakai buku-buku teks yang tertulis oleh penulis
mutakhir.
Perbedaan yang lain adalah bahwa Dayah biasanya
diselenggarakan oleh suatu perkumpulan atau organisasi yang dibentuk oleh
masyarakat dan pengajaran yang umumnya diterapkan oleh guru Agama yang disebut Ustaz.
Dalam bentuknya semula, dayah tidak dapat
disamakan dengan lembaga pendidikan sekolah sekarang ini. Namun demikian dayah
mempunyai unsur-unsur pokoknya yang membedakannya dengan lembaga pendidikan
lainnya yaitu : “adanya
pondok tempat tinggal Kyai dan para santrinya dalam suatu lingkungan dayah,
mesjid sebagai pusat kegiatan ibadah dan belajar mengajar, adanya Kyai yang menjadi
tokoh sentral dalam dayah yang memberikan pengajaran kitab-kitab klasik yang
merupakan kelanjutan dari al-qur’an”.[6]
Sesungguhnya ada perbedaan yang nyata antara Dayah
dengan Madrasah, namun adakalanya Dayah yang ada sekarang ini telah pula
memakai sistem klasikal karena di dalam Dayah terdapat Madrasah. Lembaga masih
tetap disebut Dayah karena dalam lembaga pendidikan dayah masih ada Kyai. Dan
juga Lembaga Pendidikan Madrasah disebut Dayah karena terdapat asrama atau
pondok untuk murid dari daerah lain untuk jangka waktu tertentu dalam masa
belajar ilmu agama.
Berdasarkan tingkat-tingkat perkembangan Dayah
dewasa ini terdapat variasi dari berbagai Dayah seperti yang terdapat pada
bentuk-bentuk Dayah dibawah ini.
- Dayah tradisional, adalah Dayah yang lebih banyak mempertahankan tradisinya yang lama dari pada menerima perubahan, kitab-kitab yang dipelajari harus diseleksi, terutama dengan Mazhab tertentu. Cara belajar dan mengajar serta kehidupan santrinya tetap dipertahankan. Pendapat guru tetap menjadi pegangan yang utama di kalangan santri. Dalam banyak hal Dayah ini sangat dipengaruhi oleh masa lampau yang diterima sebagai suatu pegangan yang sukar dirobah.
- Dayah modern, adalah Dayah yang dalam banyak hal telah meninggalkan tradisi lama, banyak berorientasi pada sistem masrasah. Dayah dalam bentuk ini menjalankan kurikulum yang disusun oleh Departemen Agama dan menerima bantuan dari pemerintah.
- Dayah terpadu, adalah diantara tradisional dan modern. Dayah ini berpegang teguh pada tradisi lama dalam cara memperoleh ilmu agama. Kitab-kitabnya yang diseleksi sebagai kitab wajib, berorientasi pada suatu Mazhab dan lain-lain. Akan tetapi dalam hal lain terutama dalam hal keterampilan tetap diterima. Bahkan ada diantara materinya pelajaran bahasa inggris disamping bahasa Arab.[7]
Kitab-kitab klasik tersebut adalah yang dikarang
oleh ulama terdahulu, mengenai berbagai macam ilmu pengetahuan agama Islam dan
Bahasa Arab. Pelajaran dimulai dengan kitab-kitab yang sederhana, kemudian
dilanjutkan dengna kitab-kitab tentang berbagai ilmu yang mendalam. Tingkatan
suatu pendidikan dan pengajarannya, biasanya diketahui dari jenis kitab yang
diajarkan.
Ketiga bentuk Dayah tersebut dibutuhkan oleh
masyarakat sebagai tempat mencetak kader-kader ulama di masa yang akan datang dan
sebagai pembinaan mental dan rohani para generasi muda dalam mengembangkan
ilmu-ilmu di Dayah sebagaimana yang mereka dapatkan pada Kyai.
Unsur pertama merupakan tempat tinggal Kyai dan
para santrinya dilingkungan pondok. Pada
awal perkembangannya, pondok tersebut bukanlah khusus untuk mengikuti pelajaran
dengan baik yang diajarkan oleh Kyai.
Demikian pula sebagai tempat latihan bagi para
santri yang bersangkutan agar mampu mandiri dalam masyarakat, kemudian untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari, para santri dibawah bimbingan Kyai bergotong
royong dalam situasi kekeluargaan sesama warga dayah, karena pada masa itu santri
tidak dikenakan uang sewa.
Dalam perkembangan selanjutnya terutama pada
masa sekarang lebih menonjol fungsinya sebagai tempat pemondokan atau asrama,
dan setiap santri dikenakan sewa atau iuran untuk pemeliharaan pondok tersebut
yang digunakan Kyai untuk kepentingan Dayah dan santrinya pada saat masih
berada di Dayah.
Mesjid yang merupakan unsur pokok kedua dari
dayah, disamping berfungsi sebagai tempat shalat, juga berfungsi sebagai tempat
belajar mengajar. Biasanya waktu belajar mengajar ilmu dalam dayah berkaitan
dengan waktu shalat berjama’ah, baik sebelum maupun sesudahnya.
Dalam perkembangannya, sesuai dengan
perkembangan jumlah santri dan tingkat-tingkat pelajarannya, dibangun tempat
dengan ruangan-ruangan khusus untuk khalaqah-khalaqah. Perkembangan terakhir
menunjukkan adanya ruangan-ruangan yang berupa kelas-kelas sebagaimana yang terdapat
pada madrasah-madrasah. Namun demikian mesjid juga masih tetap dipakai sebagai
tempat belajar mengajar. Pada sebahagian dayah mesjid juga berfungsi sebagai
tempat I’tikaf dan melaksanakan latihan-latihan serta berzikir maupun
amalan-amalan lainnya dalam kehidupan tarikat dan kesufian.
Kemudian M. Yusuf Ahmad dan Rusmin Tumanggor
mengemukakan tujuan pondok pesantren sebagai berikut:
1. Untuk mendidik calon ulama yang berilmu
mendalam danluas serta berwibawa dan tangguh.
2. Mendidik tenaga penggerak agama di kampung-kampung
secara merakyat.
3. Mendidik manusia muslim yagn dapat menarik
masyrakat kejalan yang benar dari jalan yang sesat.
4. Mendidik ulama yang fanatik dan berfikir
lebih banyak keapda keakhiran saja, tidak terlalu condong keduniaan belaka.
5. Membina pemuka agama yang dapat membina
generasi yang datang betul-betul amar ma’ruf dan nahi mungkar.
6. Mencetak santri yagn siap untuk menjadi
pemimpin di masa-masa akan datang.
7. Menjadi pembela agama di masyarakat
ataupun dalam mengembangkan lembaga agama yang dipimpinnya.[8]
Jelaslah bahwa tujuan pendidikan dayah adalah
berbentuk kepribadian santri yang beriman, berilmu, berakhlak mulia dalam
menegakkan agama, membina peningkatan harkat kehidupan sederhana dan mandiri
dengan kesabaran dan tawakal dalam menghadapi hidup dan tantangan.
Santri yang merupakan unsur yang ketiga dari
dayah, biasanya terdiri dari dua kelompok, yaitu : santri mukim ialah santri
yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam pondok dayah, sedangkan
santri kalong yaitu santri-santri yang berasal dari desa-desa sekitar dayah dan
biasanya mereka tidak menetap didayah.
Kyai adalah unsur dominan dalam kehidupan
dayah. Kemasyuran, perkembangan dan kelangsungan suatu dayah banyak tergantung
pada keahlian dan kedalaman ilmu, kharisma dan wibawa serta ketrampilan Kyai
yang bersangkutan dalam mengelola dayah. Dalam hal ini pribadi Kyai sangat
menentukan sebab ia adalah tokoh sentral dalam dayah, yang mempunyai ilmu yang
mendalam tentang agama Islam dan mengajarkan kitab-kitab klasik kepada
santrinya.
Dari uraian diatas dan penjelasan-penjelasannya
maka dapat diketahui bahwa dayah memiliki unsur-unsur pendidikan yang
memberikan arah dan merupakan jiwa dari pendidikan itu sendiri, yaitu sebagai
berikut :
1. Pendidikan di Dayah bukan semata-mata
memperkaya pikiran santri dengan berbagai macam pengetahuan dan informasi serta
penjelasan dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan keagamaan.
2. Dalam hubungannya dengan kewajiban
menuntut ilmu, ditekankan bahwa belajar di Dayah tujuannya bukanlah untuk
mengejar kekuasaan, uang dan keagungan duniawi, tetapi untuk kewajiban agama
dan ibadah kepada Allah SWT.
3. Dalam hubungannya dengan kehidupan
duniawi, Dayah mengadakan berbagai latihan untuk dapat hidup mandiri dan tidak
mengantungkan kepada orang lain, kecuali kepada Allah SWT.
Dari uraian di atas dan penjelasan-penjelasannya
maka dapat diketahui bahwa Dayah memiliki unsur-unsur dalam lembaga pendidikan
Dayah. Yang tidak didapatkan pada lembaga pendidikan lain.
C. Potensi Dayah dalam Pengembangan Sumber Daya
Manusia
Dayah merupakan suatu lembaga pendidikan yang
menggunakan sistem pengajaran dapat diartikan sebagai susunan atau seperangkat
bagian-bagian pengajaran yang diorganisir agar saling bekerja sama secara
harmonis dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Dayah yang ada di Indonesia, ada yang
menyelenggarakan pendidikan secara terpisah dan bersama-sama antara santri
laki-laki dan wanita. dan kebanyakan yang mengajar santri putri adalah guru
laki-laki.
Dayah Tgk syik di Reubee merupakan salah satu
lembaga pendidikan di Desa Mesjid Kemukiman Bambong Kecamatan Delima yang
sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat sekitarnya yaitu ikut berperan
aktif dalam mencetak sumber daya manusia (SDM) yang handal dan berkualitas,
terutama dalam membasmi dan menindak kejahatan di kalangan masyarakat Kecamatan
Delima di samping meningkatkan rasa kepedulian terhadap pendidikan dalam bidang
Agama Islam.
Mengembangkan sumber daya manusia merupakan
usaha yang teroganisir dan dilakukan secara sungguh-sungguh dalam membina dan
mengembangkan kemampuan manusia baik secara Teoritis maupun secara Praktis.
Tujuannya adalah untuk meningkatkan kemampuan Intelektual manusia baik
secara pribadi maupun untuk masyarakat umum.
Proses pendidikan merupakan upaya sadar menusia
yang tidak pernah ada hentinya. Sebab, jika manusia berhenti melakukan
pendidikan, sulit dibayangkan apa yang akan terjadi pada sistem perdaban dan
budaya manusia. Dengan ilustrasi ini, maka baik pemerintah maupun
masyarakat berupaya untuk melakukan pendidikan dengan standar kualitas yang
diinginkan untuk memberdayakan manusia. Adapun potensi pendidikan dayah Teungku
Syik Di Reubee menggunakan sistem pendidikan dayah antara lain :
1. Sistem Serogan, yaitu seorang Kyai membaca
kitab-kitab yang berbahasa arab, santri mengulang sebagaimana yang dibaca Kyai.
Santri menerima pelajaran apabila telah menguasai pelajaran sebelumnya. Dalam
sistem seperti ini mementingkan kualitas, dengan demikian seorang Kyai dianggap
berhasil dalam menyajikan pelajaran, bila santri mengerti. Sistem ini disebut
juga dengan sintem individual.
2. Sintem bandongan atau weton yaitu sekelompok
santri mendengarkan Kyainya membaca, menterjemahkan dan menerangkan, sedangkan
santri memperhatikan dan mencatat yang dianggap perlu. Sistem sorogan yaitu
santri menyerahkan kitab-kitab kepada Kyai, sedangkan sistem bondongan yaitu
sistem kuliah, dimana santri duduk mengelilingi Kyai untuk mengikuti pelajaran.
Karena jam belajar telah ditentukan yaitu sebelum dan sesudah melaksanakan
shalat fardhu”.[9]
Dalam waktu yang sangat lama dayah hampir seragam
memakai sistem diatas. Beberapa
dayah tetap bertahan dengan sistem tersebut karena bersifat khas dengan dayah
dan juga juga tidak dijumpai pada lembaga-lembaga lainnya.
Disamping dua sistem diatas, dayah mengusahakan
agar bagaimana cara meguasai ilmu secara lebih cepat. Namun demikian juga
berusaha agar tetap mempertahankan ciri dan identitas dayah. Dalam upaya
meningkatkan mutu sumber daya manusia, mengejar ketinggalan di segala aspek
kehidupan dan menyesuaikan dengan perubahan global serta perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Dalam mengembangkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas
melalui lembaga pendidikan yang bernuansa Islami akan terwujud manakala semua
pihak ikut berpartisipasi dan mendukung program tersebut, program pemberdayaan
generasi muda melalui dunia pendidikan merupakan langkah positif yang diawali
niat ikhlas.
Disamping dua sistem diatas dayah mengusahakan
agar bagaimana cara menguasai ilmu secara lebih cepat, namun demikian juga
berusaha agar tetap mempertahankan ciri dan identitas dayah. Sehubungan dengan
itu Rahman Shaleh mengatakan bahwa:
Perlu diadakan pembaharuan sistem pendidikan
dayah walaupun menyadari akan kedudukan dayah dan atas kedudukan itu
pembaharuan yang sebenarnya terletak ditangan pondok. Beberapa hal rasional
bagi pembaharuan dan peran departemennya diajukan, diketengahkan bahwa
pendidikan dan pengajaran belum mencapai tujuan.[10]
Dengan demikian kegiatan diatas dapat disimpulkan
bahwa kendatipun dayah sekarang masih kurang dukungan dari masyarakat. Tetapi
pada suatu saat dayah akan mendapat perhatian setelah adanya hasil yang positif
terutama dari keterampilan.
D. Kurikulum dan Metode Pendidikan Dayah
1. Pengertian Kurikulum
Kata kurikulum berasal dari bahasa latin yaitu
“curiculum” yang artinya sejumlah jarak yang harus ditempuh seseorang di suatu
lembaga pendidikan tersebut dalam mempengaruhi anak didik dalam kegiatan.
Maka bila dilihat dari kurikulum dayah, hanya
berkisar kepada ilmu pengetahuan dengan segala bidang studi agama saja, karena
tidak terdapat kurikulum secara tertulis.
Pada sebagian dasar dayah, istilah kurikulum
tidak dapat diketemukan, walau materinya ada dalam praktek pengajaran bimbingan
rohani dan latihan percakapan dalam kehidupan sehari-hari di dayah yang
semuanya itu merupakan proses pendidikan dalam dayah. Dayah memang belum lama mengenal kebiasaan
merumuskan secara tajam, materi pelajaran dalam bentuk kurikulum. Namun
demikian dapat dinyatakan bahwa kurikulum di dayah sebenarnya meliputi seluruh
kegiatan yang dilaksanakan selama sehari semalam pada waktu-waktu yang telah
ditentukan lalu dirumuskan.[11]
Dari kutipan di atas jelaslah bahwa pada dasarnya
kurikulum dayah tidak dirumuskan sebagaimana mestinya suatu lembaga pendidikan
lainnya. Kurikulum dayah selain berorientasi pada kitab-kitab menurut
tingkatan-tingkatannya juga meliputi kegiatan sehari semalam yang dapat
menunjang tercapainya tujuan. Jadi pembuatan kurikulum tidak persis sama,
tergantung kepada keahlian dan kemahiran pimpinan dayah. Maka dayah mempunyai keistimewaan
sendiri-sendiri dalam bidangnya masing-masing.
Lain halnya dengan yang terdapat pada dayah
sekarang ini, di mana kurikulum dirumuskan sedemikian rupa, sehingga selain
pelajaran yang bersifat intrakurikuler juga dilengkapi dengan latihan dan ketrampilan
yang bersifat ekstrakurikuler. “Banyak kegiatan yang bernilai mendidik yang
dilaksanakan dayah berupa latihan hidup sederhana, mengatur kepentingan
bersama, mengurus kebutuhan sendiri, latihan bela diri, ibadah dengan tertib
dan riyadhah”.[12]
Latihan lain yaitu
ketrampilan koperasi dan sebagainya yang dapat menunjang pelajaran
intrakurikuler seperti menjahit, menyulam, dan lain-lain sebagainya.
Dengan demikian maka tepatlah kalau pendidikan di
dayah relevan dengan pembangunan masyarakat yang sekarang sedang digalakkan
berbagai macam kegiatan dan ketrampilan.
Kurikulum dapat dipandang sebagai kurikulum
tradisional dan kurikulum secara modern. Secara tradisional, kurikulum diartikan sebagai sejumlah mata pelajaran
yang diajarkan disekolah. Pengertian secara tradisional ini, masih banyak
dianut sampai sekarang. Secara modern, kurikulum mampunyai pengetian tidak
hanya sebatas mata pelajaan tetapi juga menyangkut pengalaman-pengalaman diluar
sekolah sebagai suatu kegiatan pendidikan.
Pendidikan di Pesantren/ Dayah perlu memasukkan
pengetahuan umum ke dalam kurikulum. Karena mengharap para Santri lulusan Pesantren
kelak menjadi ulama yang terampil dan dapat berdiri sendiri dalam mencapai
kebutuhan hidupnya.
Berdasarkan pada keterangan di atas, maka
mulailah nampak usaha-usaha pembaharuan dan penyatuan sistem kurikulum Pesantren
/ Dayah.
a. Dayah Modern.
Dasar dan tujuan pendidikan yang dilaksanakan pada
dayah modern tidak terlepas dari tujuan pendidikan Islam sebagaimana yang telah
dijelaskan diatas. Dasarnya adalah perintah yang terdapat dalam al-qur’an dan
hadits dalam hal perintah meningkatkan kualitas umat Islam baik dari segi ilmu
agama maupun umum. Sementara
tujuannya adalah membentuk intelelktual muslim yang mampu dan berkualitas baik
dari segi pengetahuan umum dan juga pengetahuan agama.
Dalam perkembangannya sekarang ini, Kurikulum
Dayah modern beorientasi kepada kurikulum yang telah ditetapkan oleh
Departemen Agama, sementara Dayah modern menetapkan kurikulum menurut ketetapan
yayasan masing-masing. Berikut akan disajikan kurikulum Dayah Modern Gontor :
1).
Bahasa
Arab
-
Imla’
-
Mengarang
/ Pidato
-
Membaca
-
Hafalan
-
Khath
-
Nahwu /
Sharaf
-
Balaghah
-
Adab
lughah
2).
Ilmu-ilmu Agama
-
Al-Qur’an
-
Tajwid
-
Tafsir
-
Hadits
-
Musthalah
Hadits
-
Ushul fiqh
-
Aqaid /
agama
-
Mantiq
-
Tarikh Islam[13]
Pelajaran-pelajaran di atas sama dengan
pelajaran yang terdapat pada yayasan Pesantren tradisional. Kemudian dalam Pesantren
modern dipadukan antara pendidikan Pesantren dengan pendidikan sekolah secara
umum. Jadi kurikulum secara madrasah bersumber dari Departemen Agama, sementara
kurikulum secara Dayah disesuaikan dengan Pesantren-Pesantren tradisional
lainnya.
b. Dayah Tradisional
Dasar pendidikan di dayah tradisional sama
dengan dasar pendidikan pada dayah modern, sementara tujuan pendidikan pada dayah
tradisional disesuaikan dengan “Tri Darma Pondok Dayah”, yaitu :
a. Keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT
b. Pengembangan ilmu yang bermanfaat
c. Pengabdian terhadap agama, masyarakat dan
negara”.[14]
Sementara kurikulum Pesantren tradisional
beracu kepada kurikulum Pesantren yang disusun oleh persatuan Dayah Tgk Cyik di
Reubee.
2. Metode
Disamping kurikulum, metode juga merupakan
salah satu aspek untuk mencapai tujuan. Dalam proses pendidikan berfungsi sebagai penghubung antara guru dengan
santri.
Maka apabila dikaji pertumbuhan dan perkembangan
dayah yang ada di Indonesia maka akan didapati beberapa metode penyampaian
materi, antara lain adalah sebagai berikut :
a. Metode Mudzkarah (diskusi)
Mudzakarah adalah kelompok santri tertentu
membahas permasalahan, baik yang dicari oleh kiyai atau masalah yang dihadapi
masyarakat secara nyata. Mudzakarah dipimpin oleh santri atau kiyai dengan
bimbingan dari pengasuh.
b. Metode muhawarah
Muhawarah adalah cara yang dipakai kiyai untuk
belajar dengan memberi pernyataan kepada kelompok santri dan setiap santri
berada dalam setiap kelompok tersebut diharuskan memberikan penjelasan secara
umum yang menjurus kepada jawaban yang sebenarnya.
Dari penjelasan-penjelasan di atas dapatlah
disimpulkan bahwa metode yang telah diterapkan di dayah-dayah, memakai
metode-metode yang telah diterapkan dilembaga formal lainnya, akan tetapi pada
saat ini arah perkembangan pesantren dititik beratkan pada pengembangan
potensinya, peningkatan kurikulum dengan metode pendidikan agar efesien,
mengalakkan pendidikan keterampilan dilingkungan pesantren, seperti kerajinan
tangan, keterampilan mesin seperti elektronik. Sehingga pesantren mampu
menyesuaikan diri dengan perkembangan pendidikan dan mendapat kedudukan dimata
masyarakat.
[1] Abd. Rahman Saleh, Pedoman Pembinaan Pondok Pesantren, Cet II,
(Jakarta: Departemen Agama RI, 1982) hal. 3
[2] Kafrawi, Pembaharuan
Sistem Pendidikan Pondok Pesantren Sebagai Usaha Peningkatan Prestasi Kerja dan
Pembinaan Kesatuan Bangsa, Cet. I,
( Jakarta, PT.
Cemara Indah 1978), hal.19.
[3] Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan Terjemahannya, (Jakarta: Depag RI). hal. 472.
[4] Rahman Shaleh, Pedoman Pembinaan Pondok Pesantren, (Jakarta :
PT. Cemara, 1978), hal. 73
[5] H.M Arifin, Kapita Selekta Pendidikan, (Semarang : Toha Putra,
1986), hal. 243
[6] Ibid, hal. 190
[7] Ibrahim Husin, Persepsi
Kalangan Dayah Terhadap Pendidikan Tinggi di Aceh, Pertemuaan Ilmiah
IAIN Jami’ah Ar-Raniry ,(Banda Aceh : IAIN Jami’ah Ar-Raniry, 1985), hal.
22
[8] M. Yusuf Ahmad dan Rusmin Tumanggor, Pondok Pesantren Darussalam
Labuhan Haji Aceh Selatan, Lembaga Research dan Survey, (Banda Aceh : IAIN
Ar-Raniry Darussalam, 1986), hal. 17.
[9] Zamakhsyari Dhafier, Tradisi Pesantren, Cet. II, (Jakarta:
LP3ES, 1983), hal. 30
[10] Rahman Shaleh, Pedoman Pembinaan Pondok Pesantren, (Jakarta :
PT. Cemara, 1978), hal. 73.
[11] Kafrawi, Pembaharuan Sistem Pondok Pesantren, Cet. I, (Jakarta
: PT. Cemara Indah, 1978), hal. 19
[12] Sudjoko Prosodjo, Profil Pesantren, (Laporan Penelitian
Pesantren Al-Falak dan Delapan Pesantren Lain di Bogor), hal. 95
[13] Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Cet. II, (Jakarta :
Departemen Agama, 1986), hal. 233.
[14] Zaini Ahmad Syik, Standarisasi Pengajaran Agama di Pondok Dayah,
(Jakarta : Departemen Agama RI, 1981),
hal. 12.
No comments:
Post a Comment