06 October 2015

DAYAH DAN POTENSI PENDIDIKAN

BAB II
DAYAH DAN POTENSI PENDIDIKAN

A.    Sejarah Pendidikan Dayah di Indonesia
Dayah merupakan lembaga pendidikan yang berdasarkan keagamaan, dengan dasar dan tujuan yang sesuai dengan ajaran Islam. Pendidikan dayah berdasarkan pendidikan tauhid, yaitu keyakinan dan kepercayaan kepada Allah SWT yang merupakan sandaran umat manusia dan makhluk lainnya di alam ini, agar manusia senantiasa bisa mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai lembaga pendidikan tradisional agama Islam yang tertua di Indonesia, yang mampu bertahan dan berkembang hingga saat ini. Banyak masyarakat yang merasakan adanya pendidikan pada Dayah bahkan jauh sebelum gerakan perjuangan nasional untuk kemerdekaan Indonesia.

Sebelum Belanda datang ke Indonesia, Dayah merupakan pusat pembinaan masyarakat yang dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan penyebara agama yang mempunyai peranan penting. Setelah Belanda berhasil menguasai kerajaan-kerajaan di nusantara, disamping sebagai lembaga pendidikan agama, Dayah juga menjadi pusat perlawanan dan pertahanan terhadap kekuasaan Belanda.
Dalam hal ini Abdul Rachman Shaleh mengatakan :
Dayah sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia telah menunjukan kemampuaannya, dalam mencetak kader-kader ulama, sehingga tidak mengherankan apabila dalam masa penjajahan Belanda dan Jepang sering timbul pemberontakan-pemberontakan yang dipimpin kalangan dayah demikian pula dalam sejarah perjuangan merebut kemerdekaan, kalangan pondok dayah selalu ikut aktif mengambil bagian melawan kaum penjajah.[1]
            Dayah sebagai lembaga pendidikan keagamaan mengajarkan dan mengembangkan serta menyebarkan ilmu pegetahuan agama Islam. Dari sekian banyak Dayah yang tersebar di seluruh Indonesia, mengajarkan ilmu pengetahuan agama sedangkan sebagian lainnya menambah dengan ilmu pengetahuan umum dan berketrampilan lainnya.           
Dayah pada waktu itu merupakan lembaga pendidikan yang mengajarkan ilmu agama dan sebagai benteng pertahanan rakyat melawan kekuasaan Belanda, menggantikan peranan kerajaan-kerajaan yang telah dikuasai oleh Belanda.
Drs. H. Kafrawi, MA menjelaskan “sebagai lembaga pendidikan Islam, Dayah pada dasarnya hanya mengajarkan agama, sedang sumber mata pelajarannya adalah kitab-kitab dalam bahasa Arab”.[2]
            Dengan pola pendidikan yang unik, Dayah mampu bertahan berabad-abad untuk mempergunakan nilai-nilai hidup sehari-hari. Karena itu dalam jangka panjang Dayah berada dalam kedudukan kultural yang relatif lebih kuat dari masyarakat sekitarnya, jadi dalam penyesuaian ini pihak dayah selalu siap menghadapi perkembangan zaman, karena harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
            Kehadiran Dayah didorong oleh memperbaiki kehidupan pribadi dan masyarakat, sehingga banyak hal-hal positif yang dapat diambil dari perkembangan Dayah itu bagi pendidikan bangsa kehidupan beragama dan bermasyarakat.
            Pada masa kebangkitan sampai dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, dayah telah mampu berpartisipasi secara aktif, oleh karena itulah setelah indonesia merdeka dayah mendapat tempat dimasyarakat. Sedangkan dalam era kemerdekaan dan pembangunan sekarang, pesantren berpartisipasi secara aktif mengisi kemerdekaan dan pembangunan. Karena dayah tumbuh dan berkembang dari, oleh dan untuk masyarakat.
Ciri-ciri Dayah di Indonesia yaitu adanya Kyai, Santri dan Asrama telah dikenal di masa lampau sebelum pendidikan Barat masuk ke Indonesia. Di Dayah inilah mulai para santri mengenal dan membaca huruf Arab. Karena populernya, sehingga banyak Santri yang datang  dari kampung untuk belajar di Dayah.
Selain kehadirannya, dayah juga mempunyai tujuan yang mengarahkan dalam melaksanakan sesuatu kegiatan terutama dalam bidang pendidikan yang menyangkut dengan pembinaan manusia.
Tujuan pendidikan dayah difokuskan dan mengutamakan mencetak kader-kader ulama yang berbakti, mengabdi dan bertakwa kepada Allah SWT. Sebagaimana firman-Nya:
وما خلقت الجن وانس الا ليعبدون (الذاريات : ٥٦)
Artinya: Dan tidak aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk menyembah kepadaku.[3]
Dari ayat diatas jelaslah bahwa Allah menciptakan manusia untuk bertakwa kepada-Nya. Kemudian dalam tujuan pendidikan nasional juga disebutkan bahwa tujuan pendidikan itu untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT. Dengan demikian tujuan pendidikan dayah sejalan dengan tujuan pendidikan nasional, karena dayah merupakan mata rantai yang tidak terlepas dari pendidikan nasional.
Dari segi pertumbuhannya Dayah berkembang sedikit demi sedikit. Umumnya Dayah memiliki seorang Kyai secara pribadi dan tidak ada badan-badan yang mempengaruhinya. Dengan modal harta kekayaan di tambah dengan harta waqaf  yang dipakai sebagai tempat pendidikan. Berdirinya Dayah atas persetujuan Kyai. Para santri datang ke Dayah dengan harapan menjadi orang shaleh.           
Keberhasilan Dayah melalui perjuangan yang kuat, karena banyak rintangan dan gangguan terhadap perkembangan Dayah. Namun demikian dayah juga berusaha mempertahankan ciri dan identitas dayah, sebagaimana dikatakan bahwa :
Perlu diadakan pembaharuan sistem pendidikan Dayah walaupun menyadari akan kedudukan dayah dan atas kedudukan itu pembaharuan yang sebenarnya terletak ditangan pondok. Beberapa hal rasional bagi pembaharuan dan peran departemennya diajukan, diketengahkan bahwa pendidikan dan pengajaran belum mencapai tujuan.[4]

Dengan demikian kegiatah di atas dapat disimpulkan bahwa kendati pun Dayah sekarang masih kurang dukungan dari masyarakat. Tetapi pada suatu saat Dayah akan mendapat perhatian setelah adanya hasil yang positif terutama dari keterampilan.
Pengembangan agama adalah salah satu motivasi dalam mempertahankan dan mengembangkan kehidupan Pesantren, sehingga sampai sekarang Pesantren atau Dayah masih berdiri kokoh di tengah-tengah perkembangan pendidikan modern sebagai lembaga pendidikan yang berperan dalam mencetak kader-kader agama dan bangsa.
Dari gambaran sejarah Dayah tersebut, dapat diketahui sejauh mana Pesantren sebagai pendidikan agama yang tradisional memberikan pengaruh Positif dalam bidang pendidikan agama. Pesantren sudah cukup tua berkembang di kalangan masyarakat, dalam membina masyarakat yang berada di sekitarnya.

B.     Bentuk-Bentuk Dayah
Dalam perkembangan lebih lanjut, Dayah disamping memberikan pelajaran ilmu agama, juga memberikan ilmu pengetahuan umum dengan sistem Madrasah atau sekolah.
Oleh karena itu dari sudut administrasi pendidikan, Dayah dapat dibedakan dalam empat bentuk :
1.      Dayah dengan sistem lama yang pada umumnya terdapat jauh dari luar kota, hanya memberikan pengajian.
2.      Dayah modern dengan sistem klasikal berdasarkan kurikulum yang tersusun baik,termasuk pendidikan skil atau vekational (keterampilan)
3.      Dayah dengan kombinasi yang disamping memberikan pelajaran dengan sistem pengajian, juga Madrasah yang dilengkapi dengan pengetahuan menurut tingkat atau jenjangnya.
4.      Dayah yang tidak jauh lebih dari asrama pelajaran dari pada Dayah yang semestinya.[5]

Lembaga Dayah dalam hal ini dibedakan dari Madrasah.Perbedaan utamanya terletak pada sistem pendidikannya. Dayah pada umumnya berdasarkan pada kitab kuning atau kitab yang berbahasa Arab. Sedangkan Madrasah pengajarannya telah memakai buku-buku teks yang tertulis oleh penulis mutakhir.
Perbedaan yang lain adalah bahwa Dayah biasanya diselenggarakan oleh suatu perkumpulan atau organisasi yang dibentuk oleh masyarakat dan pengajaran yang umumnya diterapkan oleh guru Agama  yang disebut Ustaz.
Dalam bentuknya semula, dayah tidak dapat disamakan dengan lembaga pendidikan sekolah sekarang ini. Namun demikian dayah mempunyai unsur-unsur pokoknya yang membedakannya dengan lembaga pendidikan lainnya yaitu : adanya pondok tempat tinggal Kyai dan para santrinya dalam suatu lingkungan dayah, mesjid sebagai pusat kegiatan ibadah dan belajar mengajar, adanya Kyai yang menjadi tokoh sentral dalam dayah yang memberikan pengajaran kitab-kitab klasik yang merupakan kelanjutan dari al-qur’an”.[6]
Sesungguhnya ada perbedaan yang nyata antara Dayah dengan Madrasah, namun adakalanya Dayah yang ada sekarang ini telah pula memakai sistem klasikal karena di dalam Dayah terdapat Madrasah. Lembaga masih tetap disebut Dayah karena dalam lembaga pendidikan dayah masih ada Kyai. Dan juga Lembaga Pendidikan Madrasah disebut Dayah karena terdapat asrama atau pondok untuk murid dari daerah lain untuk jangka waktu tertentu dalam masa belajar ilmu agama.
Berdasarkan tingkat-tingkat perkembangan Dayah dewasa ini terdapat variasi dari berbagai Dayah seperti yang terdapat pada bentuk-bentuk Dayah dibawah ini.
  1. Dayah tradisional, adalah Dayah yang lebih banyak mempertahankan tradisinya yang lama dari pada menerima perubahan, kitab-kitab yang dipelajari harus diseleksi, terutama dengan Mazhab tertentu. Cara belajar dan mengajar serta kehidupan santrinya tetap dipertahankan. Pendapat guru tetap menjadi pegangan yang utama di kalangan santri. Dalam banyak hal Dayah ini sangat dipengaruhi oleh masa lampau yang diterima sebagai suatu pegangan yang sukar dirobah.
  2. Dayah modern, adalah Dayah yang dalam banyak hal telah meninggalkan tradisi lama, banyak berorientasi pada sistem masrasah. Dayah dalam bentuk ini menjalankan kurikulum yang disusun oleh Departemen Agama dan menerima bantuan dari pemerintah.
  3. Dayah terpadu, adalah diantara tradisional dan modern. Dayah ini berpegang teguh pada tradisi lama dalam cara memperoleh ilmu agama. Kitab-kitabnya yang  diseleksi sebagai kitab wajib, berorientasi pada suatu Mazhab dan lain-lain. Akan tetapi dalam hal lain terutama dalam hal keterampilan tetap diterima. Bahkan ada diantara materinya pelajaran bahasa inggris disamping bahasa Arab.[7]

Kitab-kitab klasik tersebut adalah yang dikarang oleh ulama terdahulu, mengenai berbagai macam ilmu pengetahuan agama Islam dan Bahasa Arab. Pelajaran dimulai dengan kitab-kitab yang sederhana, kemudian dilanjutkan dengna kitab-kitab tentang berbagai ilmu yang mendalam. Tingkatan suatu pendidikan dan pengajarannya, biasanya diketahui dari jenis kitab yang diajarkan.
Ketiga bentuk Dayah tersebut dibutuhkan oleh masyarakat sebagai tempat mencetak kader-kader ulama di masa yang akan datang dan sebagai pembinaan mental dan rohani para generasi muda dalam mengembangkan ilmu-ilmu di Dayah sebagaimana yang mereka dapatkan pada Kyai.
Unsur pertama merupakan tempat tinggal Kyai dan para santrinya dilingkungan pondok. Pada awal perkembangannya, pondok tersebut bukanlah khusus untuk mengikuti pelajaran dengan baik yang diajarkan oleh Kyai.
Demikian pula sebagai tempat latihan bagi para santri yang bersangkutan agar mampu mandiri dalam masyarakat, kemudian untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, para santri dibawah bimbingan Kyai bergotong royong dalam situasi kekeluargaan sesama warga dayah, karena pada masa itu santri tidak dikenakan uang sewa.
Dalam perkembangan selanjutnya terutama pada masa sekarang lebih menonjol fungsinya sebagai tempat pemondokan atau asrama, dan setiap santri dikenakan sewa atau iuran untuk pemeliharaan pondok tersebut yang digunakan Kyai untuk kepentingan Dayah dan santrinya pada saat masih berada di Dayah.
Mesjid yang merupakan unsur pokok kedua dari dayah, disamping berfungsi sebagai tempat shalat, juga berfungsi sebagai tempat belajar mengajar. Biasanya waktu belajar mengajar ilmu dalam dayah berkaitan dengan waktu shalat berjama’ah, baik sebelum maupun sesudahnya.
Dalam perkembangannya, sesuai dengan perkembangan jumlah santri dan tingkat-tingkat pelajarannya, dibangun tempat dengan ruangan-ruangan khusus untuk khalaqah-khalaqah. Perkembangan terakhir menunjukkan adanya ruangan-ruangan yang berupa kelas-kelas sebagaimana yang terdapat pada madrasah-madrasah. Namun demikian mesjid juga masih tetap dipakai sebagai tempat belajar mengajar. Pada sebahagian dayah mesjid juga berfungsi sebagai tempat I’tikaf dan melaksanakan latihan-latihan serta berzikir maupun amalan-amalan lainnya dalam kehidupan tarikat dan kesufian.
Kemudian M. Yusuf Ahmad dan Rusmin Tumanggor mengemukakan tujuan pondok pesantren sebagai berikut:
1.    Untuk mendidik calon ulama yang berilmu mendalam danluas serta berwibawa dan tangguh.
2.    Mendidik tenaga penggerak agama di kampung-kampung secara merakyat.
3.    Mendidik manusia muslim yagn dapat menarik masyrakat kejalan yang benar dari jalan yang sesat.
4.    Mendidik ulama yang fanatik dan berfikir lebih banyak keapda keakhiran saja, tidak terlalu condong keduniaan belaka.
5.    Membina pemuka agama yang dapat membina generasi yang datang betul-betul amar ma’ruf dan nahi mungkar.
6.    Mencetak santri yagn siap untuk menjadi pemimpin di masa-masa akan datang.
7.    Menjadi pembela agama di masyarakat ataupun dalam mengembangkan lembaga agama yang dipimpinnya.[8]

Jelaslah bahwa tujuan pendidikan dayah adalah berbentuk kepribadian santri yang beriman, berilmu, berakhlak mulia dalam menegakkan agama, membina peningkatan harkat kehidupan sederhana dan mandiri dengan kesabaran dan tawakal dalam menghadapi hidup dan tantangan.
Santri yang merupakan unsur yang ketiga dari dayah, biasanya terdiri dari dua kelompok, yaitu : santri mukim ialah santri yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam pondok dayah, sedangkan santri kalong yaitu santri-santri yang berasal dari desa-desa sekitar dayah dan biasanya mereka tidak menetap didayah.
Kyai adalah unsur dominan dalam kehidupan dayah. Kemasyuran, perkembangan dan kelangsungan suatu dayah banyak tergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, kharisma dan wibawa serta ketrampilan Kyai yang bersangkutan dalam mengelola dayah. Dalam hal ini pribadi Kyai sangat menentukan sebab ia adalah tokoh sentral dalam dayah, yang mempunyai ilmu yang mendalam tentang agama Islam dan mengajarkan kitab-kitab klasik kepada santrinya.
Dari uraian diatas dan penjelasan-penjelasannya maka dapat diketahui bahwa dayah memiliki unsur-unsur pendidikan yang memberikan arah dan merupakan jiwa dari pendidikan itu sendiri, yaitu sebagai berikut :
1.      Pendidikan di Dayah bukan semata-mata memperkaya pikiran santri dengan berbagai macam pengetahuan dan informasi serta penjelasan dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan keagamaan.
2.      Dalam hubungannya dengan kewajiban menuntut ilmu, ditekankan bahwa belajar di Dayah tujuannya bukanlah untuk mengejar kekuasaan, uang dan keagungan duniawi, tetapi untuk kewajiban agama dan ibadah kepada Allah SWT.
3.      Dalam hubungannya dengan kehidupan duniawi, Dayah mengadakan berbagai latihan untuk dapat hidup mandiri dan tidak mengantungkan kepada orang lain, kecuali kepada Allah SWT.
Dari uraian di atas dan penjelasan-penjelasannya maka dapat diketahui bahwa Dayah memiliki unsur-unsur dalam lembaga pendidikan Dayah. Yang tidak didapatkan pada lembaga pendidikan lain.

C.    Potensi Dayah dalam Pengembangan Sumber Daya Manusia
Dayah merupakan suatu lembaga pendidikan yang menggunakan sistem pengajaran dapat diartikan sebagai susunan atau seperangkat bagian-bagian pengajaran yang diorganisir agar saling bekerja sama secara harmonis dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Dayah yang ada di Indonesia, ada yang menyelenggarakan pendidikan secara terpisah dan bersama-sama antara santri laki-laki dan wanita. dan kebanyakan yang mengajar santri putri adalah guru laki-laki.
Dayah Tgk syik di Reubee merupakan salah satu lembaga pendidikan di Desa Mesjid Kemukiman Bambong Kecamatan Delima yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat sekitarnya yaitu ikut berperan aktif dalam mencetak sumber daya manusia (SDM) yang handal dan berkualitas, terutama dalam membasmi dan menindak kejahatan di kalangan masyarakat Kecamatan Delima di samping meningkatkan rasa kepedulian terhadap pendidikan dalam bidang Agama Islam.
Mengembangkan sumber daya manusia merupakan usaha yang teroganisir dan dilakukan secara sungguh-sungguh dalam membina dan mengembangkan kemampuan manusia baik secara Teoritis maupun secara Praktis. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kemampuan Intelektual manusia baik secara pribadi maupun untuk masyarakat umum.
Proses pendidikan merupakan upaya sadar menusia yang tidak pernah ada hentinya. Sebab, jika manusia berhenti melakukan pendidikan, sulit dibayangkan apa yang akan terjadi pada sistem perdaban dan budaya manusia. Dengan ilustrasi ini, maka baik pemerintah maupun masyarakat berupaya untuk melakukan pendidikan dengan standar kualitas yang diinginkan untuk memberdayakan manusia. Adapun potensi pendidikan dayah Teungku Syik Di Reubee menggunakan sistem pendidikan dayah antara lain :

1.      Sistem Serogan, yaitu seorang Kyai membaca kitab-kitab yang berbahasa arab, santri mengulang sebagaimana yang dibaca Kyai. Santri menerima pelajaran apabila telah menguasai pelajaran sebelumnya. Dalam sistem seperti ini mementingkan kualitas, dengan demikian seorang Kyai dianggap berhasil dalam menyajikan pelajaran, bila santri mengerti. Sistem ini disebut juga dengan sintem individual.
2.      Sintem bandongan atau weton yaitu sekelompok santri mendengarkan Kyainya membaca, menterjemahkan dan menerangkan, sedangkan santri memperhatikan dan mencatat yang dianggap perlu. Sistem sorogan yaitu santri menyerahkan kitab-kitab kepada Kyai, sedangkan sistem bondongan yaitu sistem kuliah, dimana santri duduk mengelilingi Kyai untuk mengikuti pelajaran. Karena jam belajar telah ditentukan yaitu sebelum dan sesudah melaksanakan shalat fardhu”.[9]

Dalam waktu yang sangat lama dayah hampir seragam memakai sistem diatas. Beberapa dayah tetap bertahan dengan sistem tersebut karena bersifat khas dengan dayah dan juga juga tidak dijumpai pada lembaga-lembaga lainnya.
Disamping dua sistem diatas, dayah mengusahakan agar bagaimana cara meguasai ilmu secara lebih cepat. Namun demikian juga berusaha agar tetap mempertahankan ciri dan identitas dayah. Dalam upaya meningkatkan mutu sumber daya manusia, mengejar ketinggalan di segala aspek kehidupan dan menyesuaikan dengan perubahan global serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam mengembangkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas melalui lembaga pendidikan yang bernuansa Islami akan terwujud manakala semua pihak ikut berpartisipasi dan mendukung program tersebut, program pemberdayaan generasi muda melalui dunia pendidikan merupakan langkah positif yang diawali niat ikhlas.
Disamping dua sistem diatas dayah mengusahakan agar bagaimana cara menguasai ilmu secara lebih cepat, namun demikian juga berusaha agar tetap mempertahankan ciri dan identitas dayah. Sehubungan dengan itu Rahman Shaleh mengatakan bahwa:
Perlu diadakan pembaharuan sistem pendidikan dayah walaupun menyadari akan kedudukan dayah dan atas kedudukan itu pembaharuan yang sebenarnya terletak ditangan pondok. Beberapa hal rasional bagi pembaharuan dan peran departemennya diajukan, diketengahkan bahwa pendidikan dan pengajaran belum mencapai tujuan.[10]

Dengan demikian kegiatan diatas dapat disimpulkan bahwa kendatipun dayah sekarang masih kurang dukungan dari masyarakat. Tetapi pada suatu saat dayah akan mendapat perhatian setelah adanya hasil yang positif terutama dari keterampilan.

D.    Kurikulum dan Metode Pendidikan Dayah
1.    Pengertian Kurikulum
Kata kurikulum berasal dari bahasa latin yaitu “curiculum” yang artinya sejumlah jarak yang harus ditempuh seseorang di suatu lembaga pendidikan tersebut dalam mempengaruhi anak didik dalam kegiatan.
Maka bila dilihat dari kurikulum dayah, hanya berkisar kepada ilmu pengetahuan dengan segala bidang studi agama saja, karena tidak terdapat kurikulum secara tertulis.
Pada sebagian dasar dayah, istilah kurikulum tidak dapat diketemukan, walau materinya ada dalam praktek pengajaran bimbingan rohani dan latihan percakapan dalam kehidupan sehari-hari di dayah yang semuanya itu merupakan proses pendidikan dalam dayah. Dayah memang belum lama mengenal kebiasaan merumuskan secara tajam, materi pelajaran dalam bentuk kurikulum. Namun demikian dapat dinyatakan bahwa kurikulum di dayah sebenarnya meliputi seluruh kegiatan yang dilaksanakan selama sehari semalam pada waktu-waktu yang telah ditentukan lalu dirumuskan.[11]

Dari kutipan di atas jelaslah bahwa pada dasarnya kurikulum dayah tidak dirumuskan sebagaimana mestinya suatu lembaga pendidikan lainnya. Kurikulum dayah selain berorientasi pada kitab-kitab menurut tingkatan-tingkatannya juga meliputi kegiatan sehari semalam yang dapat menunjang tercapainya tujuan. Jadi pembuatan kurikulum tidak persis sama, tergantung kepada keahlian dan kemahiran pimpinan dayah. Maka dayah mempunyai keistimewaan sendiri-sendiri dalam bidangnya masing-masing.
Lain halnya dengan yang terdapat pada dayah sekarang ini, di mana kurikulum dirumuskan sedemikian rupa, sehingga selain pelajaran yang bersifat intrakurikuler juga dilengkapi dengan latihan dan ketrampilan yang bersifat ekstrakurikuler. “Banyak kegiatan yang bernilai mendidik yang dilaksanakan dayah berupa latihan hidup sederhana, mengatur kepentingan bersama, mengurus kebutuhan sendiri, latihan bela diri, ibadah dengan tertib dan riyadhah”.[12] Latihan lain yaitu ketrampilan koperasi dan sebagainya yang dapat menunjang pelajaran intrakurikuler seperti menjahit, menyulam, dan lain-lain sebagainya.
Dengan demikian maka tepatlah kalau pendidikan di dayah relevan dengan pembangunan masyarakat yang sekarang sedang digalakkan berbagai macam kegiatan dan ketrampilan.
Kurikulum dapat dipandang sebagai kurikulum tradisional dan kurikulum secara modern. Secara tradisional, kurikulum diartikan sebagai sejumlah mata pelajaran yang diajarkan disekolah. Pengertian secara tradisional ini, masih banyak dianut sampai sekarang. Secara modern, kurikulum mampunyai pengetian tidak hanya sebatas mata pelajaan tetapi juga menyangkut pengalaman-pengalaman diluar sekolah sebagai suatu kegiatan pendidikan.
Pendidikan di Pesantren/ Dayah perlu memasukkan pengetahuan umum ke dalam kurikulum. Karena mengharap para Santri lulusan Pesantren kelak menjadi ulama yang terampil dan dapat berdiri sendiri dalam mencapai kebutuhan hidupnya.
Berdasarkan pada keterangan di atas, maka mulailah nampak usaha-usaha pembaharuan dan penyatuan sistem kurikulum Pesantren / Dayah.
a.  Dayah Modern.
Dasar dan tujuan pendidikan yang dilaksanakan pada dayah modern tidak terlepas dari tujuan pendidikan Islam sebagaimana yang telah dijelaskan diatas. Dasarnya adalah perintah yang terdapat dalam al-qur’an dan hadits dalam hal perintah meningkatkan kualitas umat Islam baik dari segi ilmu agama maupun umum. Sementara tujuannya adalah membentuk intelelktual muslim yang mampu dan berkualitas baik dari segi pengetahuan umum dan juga pengetahuan agama.
Dalam perkembangannya sekarang ini, Kurikulum Dayah modern beorientasi kepada kurikulum yang telah ditetapkan oleh Departemen Agama, sementara Dayah modern menetapkan kurikulum menurut ketetapan yayasan masing-masing. Berikut akan disajikan kurikulum Dayah Modern Gontor :
1).         Bahasa Arab
-          Imla’
-          Mengarang / Pidato
-          Membaca
-          Hafalan
-          Khath
-          Nahwu / Sharaf
-          Balaghah
-          Adab lughah

2).         Ilmu-ilmu Agama
-          Al-Qur’an
-          Tajwid
-          Tafsir
-          Hadits
-          Musthalah Hadits
-          Ushul fiqh
-          Aqaid / agama
-          Mantiq
-          Tarikh Islam[13]

Pelajaran-pelajaran di atas sama dengan pelajaran yang terdapat pada yayasan Pesantren tradisional. Kemudian dalam Pesantren modern dipadukan antara pendidikan Pesantren dengan pendidikan sekolah secara umum. Jadi kurikulum secara madrasah bersumber dari Departemen Agama, sementara kurikulum secara Dayah disesuaikan dengan Pesantren-Pesantren tradisional lainnya.
b.   Dayah Tradisional
Dasar pendidikan di dayah tradisional sama dengan dasar pendidikan pada dayah modern, sementara tujuan pendidikan pada dayah tradisional disesuaikan dengan “Tri Darma Pondok Dayah”, yaitu :

a.       Keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT
b.      Pengembangan ilmu yang bermanfaat
c.       Pengabdian terhadap agama, masyarakat dan negara”.[14]
Sementara kurikulum Pesantren tradisional beracu kepada kurikulum Pesantren yang disusun oleh persatuan Dayah Tgk Cyik di Reubee.

2.    Metode
Disamping kurikulum, metode juga merupakan salah satu aspek untuk mencapai tujuan. Dalam proses pendidikan berfungsi sebagai penghubung antara guru dengan santri.
Maka apabila dikaji pertumbuhan dan perkembangan dayah yang ada di Indonesia maka akan didapati beberapa metode penyampaian materi, antara lain adalah sebagai berikut :
a.       Metode Mudzkarah (diskusi)
Mudzakarah adalah kelompok santri tertentu membahas permasalahan, baik yang dicari oleh kiyai atau masalah yang dihadapi masyarakat secara nyata. Mudzakarah dipimpin oleh santri atau kiyai dengan bimbingan dari pengasuh.
b.      Metode muhawarah
Muhawarah adalah cara yang dipakai kiyai untuk belajar dengan memberi pernyataan kepada kelompok santri dan setiap santri berada dalam setiap kelompok tersebut diharuskan memberikan penjelasan secara umum yang menjurus kepada jawaban yang sebenarnya.
Dari penjelasan-penjelasan di atas dapatlah disimpulkan bahwa metode yang telah diterapkan di dayah-dayah, memakai metode-metode yang telah diterapkan dilembaga formal lainnya, akan tetapi pada saat ini arah perkembangan pesantren dititik beratkan pada pengembangan potensinya, peningkatan kurikulum dengan metode pendidikan agar efesien, mengalakkan pendidikan keterampilan dilingkungan pesantren, seperti kerajinan tangan, keterampilan mesin seperti elektronik. Sehingga pesantren mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan pendidikan dan mendapat kedudukan dimata masyarakat.



[1] Abd. Rahman Saleh, Pedoman Pembinaan Pondok Pesantren, Cet II, (Jakarta: Departemen Agama RI, 1982) hal. 3

[2] Kafrawi, Pembaharuan Sistem Pendidikan Pondok Pesantren Sebagai Usaha Peningkatan Prestasi Kerja dan Pembinaan Kesatuan Bangsa, Cet. I, ( Jakarta, PT. Cemara Indah 1978), hal.19.

[3]  Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Depag RI). hal. 472.

[4] Rahman Shaleh, Pedoman Pembinaan Pondok Pesantren, (Jakarta : PT. Cemara, 1978), hal. 73

[5] H.M Arifin, Kapita Selekta Pendidikan, (Semarang : Toha Putra, 1986), hal. 243

[6] Ibid, hal. 190

[7] Ibrahim Husin, Persepsi  Kalangan Dayah Terhadap Pendidikan Tinggi di Aceh, Pertemuaan Ilmiah IAIN Jami’ah Ar-Raniry ,(Banda Aceh : IAIN Jami’ah Ar-Raniry, 1985), hal. 22

[8] M. Yusuf Ahmad dan Rusmin Tumanggor, Pondok Pesantren Darussalam Labuhan Haji Aceh Selatan, Lembaga Research dan Survey, (Banda Aceh : IAIN Ar-Raniry Darussalam, 1986), hal. 17.

[9] Zamakhsyari Dhafier, Tradisi Pesantren, Cet. II, (Jakarta: LP3ES, 1983), hal. 30

[10] Rahman Shaleh, Pedoman Pembinaan Pondok Pesantren, (Jakarta : PT. Cemara, 1978), hal. 73.

[11] Kafrawi, Pembaharuan Sistem Pondok Pesantren, Cet. I, (Jakarta : PT. Cemara Indah, 1978), hal. 19

[12] Sudjoko Prosodjo, Profil Pesantren, (Laporan Penelitian Pesantren Al-Falak dan Delapan Pesantren Lain di Bogor), hal. 95

[13] Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Cet. II, (Jakarta : Departemen Agama, 1986), hal. 233.

[14] Zaini Ahmad Syik, Standarisasi Pengajaran Agama di Pondok Dayah, (Jakarta :  Departemen Agama RI, 1981), hal. 12.

No comments: